REPUBLIKA.CO.ID, SITTWE -- Beberapa kebakaran di Kota Sittwe, Myanmar padam karena hujan. Berita di televisi pemerintah melaporkan, tidak ada kekerasan yang terjadi. Pasukan keamanan kini fokus memulihkan ketertiban dan memberikan bantuan.
Tentara dan polisi berpatroli dan memperingatkan warga dengan pengeras suara untuk mematuhi keadaan darurat yang diberlakukan. Militer kini memiliki kewenangan penuh atas fungsi administrasi dan keamanan di negara bagian Rakhine. Jam malam berlaku mulai pukul 18.00 sampai 06.00. Warga juga dilarang berkumpul lebih dari lima orang.
Kebijakan itu membuat Muslim Rohingya Myanmar digerayangi kecemasan tingkat tinggi. San Shwe, salah seorang warga Sittwe mengatakanm ia belum percaya keadaan sudah tenang. Menurutnya, keadaan Rabu (13/6) pagi memang tenang, tapi belum normal.
"Kami ketakutan sepanjang hari dan malam," ujarnya.
Muslim Rohingya Myanmar yang tinggal di kamp-kamp pengungsian di Bangladesh meminta pejuang demokrasi Aung San Suu Kyi berbicara untuk mereka dan membantu mengakhiri penindasan kepada mereka, Rabu (13/6). Bangladesh yang berbatasan dengan Myanmar adalah rumah bagi sekitar 300 ribu pengungsi Rohingya.
Sekitar sepersepuluh dari mereka hidup dalam kondisi memprihatinkan dalam kamp bantuan PBB. Sedikitnya 25 orang tewas dan 41 orang lainnya terluka dalam kerusuhan lima hari antara umat Budha dan Muslim Rohingya di negara bagian Rakhine. Sekitar 1.600 rumah Muslim Rohingya juga dibakar.
"Kami meminta perlindungan kepada PBB, negara-negara lain, pemerintah Myanmar dan terutama untuk Suu Kyi," ujar pemimpin pengungsi Rohingya yang tinggal di kamp Nayapara di kota perbatasan Teknaf, Mohammad Islam kepada AFP.
Suu Kyi meninggalkan Myanmar pada Rabu pada perjalanan pertamanya ke Eropa sejak 1988. Ia secara resmi akan menerima Nobel Perdamaian yang mendorongnya menjadi pusat perhatian dunia dua dekade lalu. "Saya ingin melakukan yang terbaik untuk kepentingan rakyat," kata Suu Kyi kepada wartawan sebelum pesawatnya meninggalkan Bandara Yangon.