REPUBLIKA.CO.ID, Kegigihan Kiai Dahlan memperjuangkan agar Muslimat NU menjadi bagian dan mempunyai kepengurusan tersendiri dalam tubuh NU akhirnya membuahkan hasil. Pada Muktamar NU ke-16 yang diselenggarakan di Purwokerto pada tahun 1946, secar aklamasi Muslimat diterima sebagai bagian tersendiri dari NU.
Padahal sehari sebelum muktamar ditutup, kata sepakat belum didapat. Karenanya, Kiai Dahlan kemudian berupaya membuat semacam pernyataan penerimaan Muslimat untuk ditandatangani KH Hasyim Asyari dan KH Abdul Wahab Chasbullah. Dengan adanya secarik kertas tanda persetujuan kedua tokoh besar NU itu, proses penerimaan dapat berjalan dengan lancar.
Bersama A Aziz Dijar, Dahlan pulalah yang terlibat secara penuh dalam penyusunan peraturan khusus yang menjadi cikal bakal Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Muslimat NU di kemudian hari.
Bersamaan dengan penutupan Muktamar NU ke-16, organisasi Muslimat NU secara resmi dibentuk, tepatnya tanggal 29 Maret 1946/26 Rabiul Akhir 1365. Sebagai ketuanya, terpilih Chadidjah Dahlan asal Pasuruan, yang tak lain adalah istri Kiai Dahlan. Chadidjah memimpin Muslimat NU selama dua tahun.
Kiprah di pentas nasional
Kiai Dahlan mulai berkiprah di pentas nasionalpada 1941 dengan menjadi anggota Dewan Majelis Islam A'la Indonesia (MIAI) yang berkedudukan di Surabaya. Tahun 1945, ketika Masyumi didirikan, ia menjadi anggota Dewan Pimpinan Partai hingga tahun 1952, saat NU memisahkan diri dari Partai Masyumi. Beliau juga sempat menjadi anggota Komite Nasional Indonesia Pusat di Yogyakarta pada tahun 1946.
Pada Muktamar NU ke-20 di Surabaya tahun 1954, ia terpilih sebagai Ketua Umum Tanfidziah Nahdlatul Ulama. Melalui partai yang dipimpinnya, ia juga duduk sebagai anggota konstituante hingga tahun 1959. Setahun kemudian, DPR-Gotong Royong dibentuk dan Dahlan diangkat menjadi anggotanya. Namun pengangkatan itu ditolaknya dengan alasan pembentukan lembaga tersebut tidak memberi kesempatan kepada golongan oposisi.