Senin 11 Jun 2012 08:26 WIB

Cinta Dunia

koin emas
Foto: blogspot
koin emas

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Dr Oni Sahroni MA

Cinta dunia pada umumnya bermakna negatif. Cinta dunia bermakna haus jabatan, ambisi dengan kekayaan dan sejenisnya.

Di sisi lain, dunia telah menemani keseharian setiap orang. Fasilitas seperti rumah, makanan, kendaraan, praktis telah menjadi pendamping hidupnya. Hari-harinya untuk mengais rezeki; untuk mendapatkan sarana dan fasilitas hidupnya.

Kesan paradoks di atas menyisakan pertanyaan mendasar, bolehkah mencari dan mengumpulkan dunia? bolehkah mencintai dunia?.

Jika merujuk kepada al-Qur’an, maka akan ditemukan banyak nash-nash al-Qur’an yang menjadi tuntunan dalam masalah ini. Di antaranya, firman Allah Swt. yang artinya : “dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, Yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak[186] dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga).” (Q.S ali ‘Imran ; 14).

Ayat di atas menegaskan bahwa mencintai dunia seperti wanita, anak, harta dan sejenisnya adalah fitrah setiap orang. Maka, Islam tidak melarang mereka untuk mencari dan mengumpulkan dunia karena dunia adalah fitrah manusia, oleh karena itu wajar kalau senang memilikinya. Bahkan Islam menganggap mal (harta) adalah bagian dari kebutuhan dasar manusia (dharuriyatul khamsah).

Dalam ayat lain, Allah Swt. menegaskan hal yang sama, bahwa dunia dengan segala isinya telah di sediakan oleh Allah swt untuk dimanfaatkan dan dimakmurkan oleh manusia. Sebagaimana firman Allah Swt, yang artinya : “Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu dan Dia berkehendak (menciptakan) langit, lalu dijadikan-Nya tujuh langit. dan Dia Maha mengetahui segala sesuatu.”(Q.S al-Baqarah ; 29)

Tetapi Islam mengarahkan dan membimbing kecintaan manusia terhadap dunia itu agar sesuai dengan tuntunan Allah swt.  Islam membedakan kecintaan terhadap dunia menjadi dua hal :

Pertama, tertipu oleh dunia sehingga ia menjadi hamba dunia, abdi harta dan kekuasaan yang dimilikinya. Harta dan jabatan menyebabkannya jauh dari Allah Swt. Sosok – sosok seperti Qarun ; pecinta harta, Firaun; pecinta jabatan adalah contoh dari orang – orang yang tertipu dengan dunia. Inilah cara pandang yang salah terhadap dunia.

Oleh karena itu dalam Quran, kata dunia sering kali diidentifikasi sebagai la’bun dan lahwun (melalaikan). Ungkapan tersebut sebagai warning bahwa dunia rentan membuat manusia tertipu, terlena, dan lupa akan tujuan hidupnya sebagai hamba Allah Swt.

Kedua, menempatkan dunia sebagai alat dan sarana untuk dikapitalisasi agar bisa beribadah kepada Allah Swt. dengan optimal. Bukan sebaliknya, menempatkan dunia sebagai tujuan yang akan memperbudak  pemiliknya. Inilah cara pandang yang benar terhadap dunia.

Oleh karena itu Islam menjelaskan bahwa selayaknya meletakan dunia di tangan bukan di hati. Selalu berniat, dengan harta yang dimiliki, bisa melahirkan anak yang sholeh. Dengan jabatan yang dimiliki, bisa memberikan yang terbaik untuk masyarakat.  Maka, sebenarnya bukan dunia yang menjadi masalah, tetapi yang menjadi masalah adalah niat, persepsi dan cara mendapatkan dunia.

Sosok – sosok seperti Utsman (pengusaha), Umar Bin Abdul Aziz (Pejabat) adalah contoh dari orang– orang yang memanfaatkan harta dan jabatannya untuk kepentingan masyarakat. Dengan begitu dunia menjadi hamba manusia, bukan manusia menjadi hamba dunia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement