Oleh: Prof Dr Nasaruddin Umar
Dalam artikel terdahulu dijelaskan bagaimana para sufi begitu akrabnya dengan seni. Orang seperti Imam Al-Ghazali yang merupakan tokoh panutan ulama Sunni menghabiskan sejumlah halaman dalam suatu bab tersendiri tentang keutamaan seni.
Ia menyimpulkan bahwa orang yang tidak memiliki rasa seni di dalam jiwanya, dikhawatirkan hatinya kering. Seni di sini tentu seni yang dapat membangkitkan rasa kedekatan diri dengan Tuhan.
Tuhan menciptakan segala ciptaan-Nya dengan cinta maka sudah barang tentu semua ciptaan Tuhan itu indah. Jika Tuhan Maha Indah, sebagaimana terungkap di dalam namanya, Al-Asma Al-Husna (Nama-nama Indah Tuhan), maka sudah barang tentu pula Tuhan mencintai hamba-Nya yang menyerupakan diri dengan-Nya.
Memang seni dan musik tidak banyak disinggung di dalam Alquran. Tetapi, Alquran itu sendiri melampaui karya seni terbaik sekalipun. Baik pada masa turunnya maupun pada zaman-zaman sesudahnya.
Salah satu kemukjizatan Alquran ialah keindahan dan ketinggian nilai seni-sastra dan bahasanya. Suatu ketika, Musailamah Al-Kazzab, seorang penyair ulung di masa turunnya Alquran mencoba menantang keindahan Alquran dengan menyandingkan karyanya dengan surah paling pendek dalam Alquran, yaitu Al-Kautsar.
Namun, hasilnya sia-sia. Karyanya digantung di salah satu dinding Masjid Haram dan Surah Al-Kautsar di salah satu dinding lain. Para pencinta seni memberikan pujian luar biasa kepada bait-bait Surah Al-Kautsar, sementara syair Musailamah dicerca bahkan ada yang meludahinya.
Alquran juga mengisyaratkan bahwa suara yang merdu, yang menjadi unsur penting di dalam penampilan bakat seni, merupakan karunia Tuhan yang diberikan kepada orang-orang tertentu, sebagaimana ayat berikut, “Allah menambahkan pada ciptaan-Nya apa yang dikehendaki-Nya." (QS. Fathir: 1). Dalam kitab Tafsir Fakhr Ar-Razi, dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan keutamaan tambahan pada ayat ini ialah suara yang bagus (al-shaut al-hasan).