REPUBLIKA.CO.ID, Prof Hasanuddin menegaskan, hukum ini berlaku pula untuk para penyelenggara musik erotis lokal yang kerap manggung di kampung-kampung.
Menurutnya, selama kriteria maksiat itu terpenuhi, hukumnya haram untuk menyelenggarakan perhelatan musik yang tak layak. Bahkan, ia juga mengatakan bila pemerintah turut memfasilitasi, ia terkena hukum tersebut. “Jadi, membantu hal-hal maksiat juga haram,” tegasnya.
Pendapat yang sama diutarakan oleh Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah Bidang Tarjih dan Tajdid, Prof Yunahar Ilyas. Menurutnya, Islam melarang saling tolong-menolong dalam kejelekan. Hal ini sebagaimana ditegaskan ayat ke-2 Surah Al-Maidah.
Atas dasar ini, siapa pun yang terlibat dalam penyelenggaraan musik yang mengumbar aurat dan maksiat, dianggap telah berbuat dosa. Pihak yang dimaksud bisa sponsor, promotor, panitia pengedar karcis, bahkan petugas keamanan.
“Bagi pencetus ide kegiatan musik tersebut, akan mendapat sanksi lebih besar. Hal ini lantaran yang bersangkutan mengajak dan memfasilitasi orang lain berbuat dosa,” kata Yunahar.
Rasulullah SAW bersabda, “Barangsiapa yang memulai sunah yang baik dalam Islam, maka baginya pahala dan pahala orang-orang yang mengikuti amal itu setelahnya tanpa mengurangi pahala mereka sedikit pun. Dan barangsiapa yang memulai sunah kejelekan, maka dia menanggung dosanya dan dosa orang-orang yang mengikuti setelahnya tanpa mengurangi dosa mereka sedikit pun.” (HR. Muslim).
Apakah ini berarti Islam anti-seni? Menurut sosok yang juga menjabat ketua MUI ini, Islam tidak anti-seni. Hasil Musyawarah Nasional Majelis Tarjih Muhammadiyah 1995 di Aceh memutuskan bahwa seni pada dasarnya adalah halal. Hukum seni berubah menjadi haram disebabkan faktor luar, bukan dari seni itu sendiri (halal lidzatihi wa haramun li ghairihi).
Faktor itu bisa berupa lirik yang mengandung unsur maksiat, penampilan seksi artis, atau sebab waktu konser yang melanggar pelaksanaan shalat wajib, misalnya. “Stop konser yang tak layak, pemerintah ikut bertanggung jawab!” tegas Yunahar.