Oleh: Prof Dr Nasaruddin Umar
Walaupun Ibnu Arabi termasuk sufi, dia berbeda dengan sufi-sufi lainnya yang lebih menekankan aspek tasybih dan menafikan aspek tanzih. Karena, menurut dia, bagaimanapun juga dzat Tuhan adalah transenden dan sunyi dari segala aspek ketidaksempurnaan (munazzah).
Ibnu Arabi mengkhawatirkan kalau menafikan aspek tanzih seseorang bisa jatuh ke lembah kemusyrikan karena menduplikasikan Tuhan dengan makhluk-Nya. Dari segi dzat-Nya, Tuhan tidak pernah dan tidak akan pernah diketahui oleh siapa pun. Ia tak dapat dipikirkan dan tak dapat dilukiskan dengan sesuatu apa pun.
Kalaupun ada orang yang menganggap dirinya berhasil mengetahui dan memahami dzat Tuhan pasti itu bukan Tuhan atau Tuhan menurut persepsi yang bersangkutan. Dalam beberapa artikel lalu sudah dijelaskan bagaimana misteri dzat Tuhan dalam berbagai agama. Hampir semua agama berpandangan sama bahwa dzat Tuhan maha misteri.
Pengetahuan tentang dzat Tuhan hanya sejauh yang diberikan-Nya kepada kita lewat asma dan sifat-Nya. Dari sini, Tuhan dapat diketahui melalui kosmos dan perilakunya. Jika Tuhan menyatakan diri-Nya melihat, mendengar, dan mencintai, berarti Tuhan mengejawantahkan diri-Nya pada kosmos. Tuhan berkorespondensi dengan makhluk-Nya.
Seperti diketahui, Tuhan adalah substansi seluruh makhluk (jauhar), maka wujud ke-Dia-an merupakan setiap apa yang melihat, mendengar, dan mencintai. Itulah jauhar-Nya. Jika kita melihat al-khalq (makhluk), sesungguhnya kita melihat Al-Haq (Tuhan). Sebab, Al-Haq mempunyai sifat yang dimiliki al-khalq, yaitu sifat-sifat al-Muhdatsah.
Sebaliknya, al-khalq memiliki sifat-sifat Al-Haq. Ibarat satu mata uang yang mempunyai dua sisi, yaitu sisi tanzih dan sisi tasybih. Tidak mungkin dua sisi tersebut dipisahkan satu sama lain. Antara keduanya tidak paradoks, melainkan masing-masing mempunyai makna dan fungsi.
Penyatuan antara kedua kualitas ini sesuai asumsi ontologi Ibnu Arabi, yaitu kesatuan wujud (wahdah al-wujud). Kata Dia (Huwa), yakni Dia yang Maha Dia, bukan selain-Nya. Sedangkan selain-Nya bukan Dia Yang Mahadia (la Huwa). Dengan demikian, "Huwa la Huwa" mempunyai dua aspek.
Aspek pertama (Huwa) dalam bentuk positif, menegaskan tasybih, yaitu keserupaan Tuhan dengan kosmos. Bagian kedua (la Huwa) dalam bentuk negatif, menekankan tanzih, tiadanya keserupaan antara Tuhan dan kosmos. Penjelasan Ibnu Arabi ini hanya bisa dimengerti manakala memahami utuh konsep wahdah al-wujud-nya.
Di dalamnya terdapat konsep keterpaduan dari berbagai hal yang berdiri sendiri (al-jam'u baina al-addat), yang menghubungkan antara ketakterbandingan dan keserupaan antara Yang Satu dan yang banyak, keagungan dan keindahan, dan pembedaan dari Yang Tak Terbedakan.




