REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON - Tak tahan dengan perlakuan diskriminasi berupa larangan terbang, 15 muslim AS - termasuk empat veteran militer, menggugat pemerintah Federal. Mereka meminta larangan terbang itu dicabut sebab aturan itu dibuat tanpa ada bukti yang kuat.
Pengacara Uni Kebebasan Sipil Amerika (ACLU) yang mendampingi penggugat, Nusrat Choudhury mengatakan kliennya meminta penjelasan pemerintah federal terkait larangan itu. "Intinya, mereka meminta haknya kembali," kata dia seperti dikutip onislam.net, Senin (14/5).
Sebelumnya, penggugat telah mengajukan gugatan Juni 2010 silam. Namun, ditolak pengadilan Portland, negara bagian Oregon. Alasan penolakan dikarenakan pengadilan tidak memiliki yuridiksi atas masalah tersebut.
Oleh ACLU, masalah ini selanjutnya dibawa ke pengadilan banding AS. Pengajuan gugatan itu segera direspon pengadilan banding dengan menyetujui sidang pemeriksaan perkara pada Jumat (11/5) kemarin.
"Mereka hanyalah warga Amerika biasa. Namun, jangan kaitkan mereka dengan teroris. Ini yang menjadi masalah. Bisa jadi, apa yang menimpa mereka akan terjadi pada orang lain," kata Chaoudhury.
Dalam sidang tersebut, Pengadilan Banding AS mempertanyakan Departemen Kehakiman atas kebijakan yang melarang Muslim Amerika untuk melakukan penerbangan.
"Bagaimana bisa, memang apa yang dilakukan penggugat," tanya Hakim Ketua, Alex Konzinski, kepada pengacara pemerintah Yosua Waldman.
Choudhury, lalu menjelaskan para penggugat tidak tahu kesalahan apa yang diperbuat hingga dilarang untuk melakukan penerbangan.
" Masalah ini terjadi sejak tahun 2006. Diawali dengan kasus, enam imam dihapus dalam daftar penumpang penerbangan. Mereka diinterograsi selama lima jam oleh petugas bandara dengan kondisi tangan diborgol. Lalu sembilan muslim AS yang namanya dihapus dalam daftar penumpang penerbangan ke Orlando, Florida," paparnya.
Seperti diberitakan Pusat Skrining Teroris, Biro Investigasi Federal (FBI) membuat daftar larangan terbang terhadap 20 ribu orang yang dianggap lembaga tersebut memiliki hubungan dengan terorisme. Sekitar 500 diantaranya merupakan warga AS.