REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Cucu Surahman MA
Jujur adalah sifat luhur dan terpuji. Sifat ini sangatlah penting ada pada setiap individu, apakah ia rakyat biasa, lebih-lebih sebagai penguasa. Kejujuran seseorang, selain akan mendatangkan ketentraman bagi dirinya, juga akan memberikan keadilan dan ketenangan bagi orang lain. Nabi Saw bersabda: "Maka sesungguhnya jujur adalah ketenangan dan bohong adalah keraguan. (HR. Tirmidzi).
Bertindak jujur memang tidaklah mudah. Apalagi ketika ketamakan duniawi, yang meliputi gengsi, posisi, dan upeti, sudah merasuki diri. Orang seperti ini akan menghalalkan segala cara, termasuk berdusta, demi tercapainya hasrat dan keinginan nafsunya. Demi untuk mendapatkan dunia, orang rela menukar-balikkan fakta. Menukar kebenaran dengan kebohongan, begitu juga sebaliknya.
Hal ini sesuai dengan prediksi Rasulullah Saw.: “Akan datang kepada manusia tahun-tahun yang penuh tipu daya, di masa itu para pendusta dibenarkan omongannya sedangkan orang-orang jujur didustakan, di masa itu para pengkhianat dipercaya sedangkan orang yang terpercaya justru tidak dipercaya, dan pada masa itu muncul Ruwaibidlah, ditanyakan kepada beliau saw. apa itu Ruwaibidlah? Rasul menjawab: Seorang yang bodoh (yang dipercaya berbicara) tentang masalah rakyat/publik”. (HR. Ibnu Majah).
Kejujuran seorang pemimpin atau pejabat akan menjadi lebih urgen dari orang atau rakyat biasa karena kejujurannya secara positif akan berpengaruh besar terhadap orang banyak, seperti akan terealisasinya pemerataan pembangunan dan kesejahteraan ekonomi. Dan sebaliknya, kebohongan seorang penguasa akan berdampak besar bagi rakyat banyak, tentu dalam bentuknya yang negatif, seperti melonjaknya angka pengangguran dan kemiskinan.
Hal ini sesuai dengan sabda Nabi Saw.: "Senantiasalah kamu berlaku jujur, karena sesungguhnya kejujuran membawa kepada kebaikan, dan sesungguhnya kebaikan membawa ke surga. Seseorang yang senantiasa jujur dan berusaha untuk selalu jujur, akhirnya ditulis di sisi Allah sebagai seorang yang selalu jujur.
Dan jauhilah kedustaan karena kedustaan itu membawa kepada kemaksiatan, dan kemaksiatan membawa ke neraka. Seseorang yang senantiasa berdusta dan selalu berdusta, hingga akhirnya ditulis di sisi Allah sebagai seorang pendusta.” (HR. Bukhari Muslim).
Karena pentingnya nilai sebuah kejujuran ini, maka Imam Ibnul Qayyim berkata, “Iman asasnya adalah kejujuran dan nifaq asasnya adalah kedustaan.” Hal ini sesuai dengan sebuah hadits Nabi, di mana para sahabat pernah bertanya: "Ya Rasulullah, 'Apakah ada orang beriman yang pendusta?' Beliau menjawab, 'Tidak.’ (HR. Malik).
Dan hadits Nabi yang lain yang menyatakan bahwa dusta merupakan tanda dari kemunafikan. Rasulullah bersabda, “Tanda-tanda orang munafik ada tiga perkara, yaitu apabila berbicara dia dusta, apabila berjanji dia memungkiri dan apabila diberi amanah dia mengkhianati.” (HR. Bukhari).