REPUBLIKA.CO.ID, Selain itu, DNA tidak boleh dipergunakan untuk menafikan nasab yang telah dipastikan kebenarannya secara syariat.
Penggunaan DNA diperbolehkan dalam kondisi-kondisi tertentu, misalnya tidak teridentifikasinya nasab karena beberapa faktor seperti ketiadaan bukti fisik ataupun bukti tertulis.
Menurut komite ini pula, DNA sah dipakai untuk mengidentifikasi bayi-bayi yang tertukar ketika berada di rumah sakit.
Menurut Syekh Yusuf Al-Qardhawi, DNA tak bisa dijadikan bukti pengukuhan nasab dari hasil perbuatan zina. Meskipun syariat menekankan pentingnya pengukuhan nasab, tetapi khusus dalam kasus zina, hal itu harus ditutupi.
Menutupi aib dari zina penting dilakukan agar tatanan sosial masyarakat Muslim tetap terjaga dan tindakan keji tersebut tidak menjalar dan menjadi hal biasa di tengah-tengah mereka.
Rasulullah SAW pernah mengomentari sikap sahabat yang menolak pengakuan berzina dari Ma’iz bin Malik. “Tidakkah engkau tutupi dengan ujung pakaianmu,” sabda Rasulullah. Tetapi dalam kasus tertentu, DNA bisa digunakan seperti sebagai bukti atas tuduhan berzina yang ditujukan seseorang.
Dalam pandangan Mufti Dar Al-Ifta, Mesir, Syekh Ali Jum’ah, sesuai dengan kaidah yang berlaku di kajian fikih Islam, nasab seorang anak—apa pun kondisinya—akan tetap kembali ke ibu. Hal ini sesuai dengan ayat “Ibu-ibu mereka tidak lain hanyalah wanita yang melahirkan mereka.” (QS. Al-Mujaadilah: 2).
Pengukuhan nasab anak ke ayahnya hanya melalui pernikahan yang sah. Namun, penggunaan DNA dianggap boleh saat kondisi tertentu. Misalnya, ketika seorang suami ingkar terhadap anak kandungnya dari pernikahan sah. Sementara di saat bersamaan, tak ditemukan bukti atau dokumen pernikahan. DNA dalam kasus seperti ini sah digunakan. Tes DNA juga boleh dipergunakan ketika terjadinya kasus bayi tertukar.