Senin 07 May 2012 21:21 WIB

Bolehkah Negara Tetapkan UMR? (1)

Rep: Nashih Nashrullah / Red: Chairul Akhmad
 Sejumlah buruh membentangkan spanduk ketika berunjuk rasa menuntut revisi dan penyesuaian upah minimum kabupaten/kota (UMK).
Foto: Antara/R Rekotomo
Sejumlah buruh membentangkan spanduk ketika berunjuk rasa menuntut revisi dan penyesuaian upah minimum kabupaten/kota (UMK).

REPUBLIKA.CO.ID, Tanggal 1 Mei tiap tahunnya diperingati sebagai Hari Buruh se-Dunia. Jutaan pekerja berkumpul dan menggelar unjuk rasa di berbagai jalan protokol masing-masing negara.

Tuntunan mereka sama; kesejahteraan dengan adanya upah yang laik dan tunjungan-tunjungan lainnya untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.

Desakan untuk meningkatkan upah minimum regional (UMR), juga menjadi bagian aspirasi yang mereka suarakan. Negara dalam hal ini pemerintah, adalah objek kesemua tuntutan tersebut. Lantas, bolehkah negara mengintervensi dalam penetapan UMR? Bagaimana pandangan Islam terkait kasus ini?

Pakar Ekonomi Islam dan Guru Besar Hukum Islam Universitas Al-Azhar, Kairo Mesir, Prof  Husain Syahatah dalam fatwanya bertajuk At-Tawazun Bain Al-As’ar wa Al-Ujur (Kesesuaian antara Harga dan Upah), menjelaskan pada prinsipnya Islam memberikan kebebasan individual dalam hal berekonomi dan berinteraksi secara sosial. Selama tetap dalam koridor Islam yang menekankan kejujuran, tidak ada penipuan, dan manipulasi.

Tetapi, adakalanya praktik di lapangan kerap tak sesuai. Ada perusahaan yang mencoba mengeruk keuntungan dengan berbagai cara, salah satunya menekan ongkos produksi dengan memangkas upah minimum bagi para karyawan atau buruh mereka. Dalam fikih, istilah pembatasan harga atau upah tersebut dikenal dengan tas’ir.

Prof Husain mengatakan, terdapat perbedaan pendapat ulama terkait boleh atau tidaknya negara melakukan intervensi dalam penetapan UMR. Pendapat pertama mengatakan bahwa campur tangan pemerintah itu tidak diperbolehkan. Pandangan ini merujuk pada hadis sahih riwayat Anas bin Malik RA.

Dalam hadis tersebut, Rasulullah SAW menolak permintaan agar menetapkan harga di pasaran yang melambung tinggi. Penolakan itu dilandasi kekhawatiran terjadinya penzaliman bagi salah satu pihak. Pendapat ini masyhur di kalangan Mazhab Hanbali.

Pendapat yang kedua, menyatakan bahwa tas’ir adalah tuntutan yang mendesak di segala kondisi. Pandangan ini dilandasi atas fakta bahwa tidak ada teks agama yang melarang secara tegas dan jelas praktik itu. Dan, dengan pembatasan harga maka akan peluang monopoli dan eksploitasi bisa dicegah. 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement