REPUBLIKA.CO.ID, Selama lebih dari lima dekade, Leila Jabarin menyembunyikan rahasia dari anak-anak dan cucunya bahwa ia adalah korban yang selamat dari pembantaian Nazi Jerman di Kamp Konsetresi Auschwitz. Keluarganya tahu bahwa ia seorang mualaf Yahudi, namun tidak ada yang tahu masa lalu Leila yang kelam.
Rahasia itu akhirnya diungkap Leila kepada keluarganya. Kepada mereka, Leila menceritakan asal-usulnya berikut dengan penderitaan yang dialaminya selama berada dalam kamp konsetrasi."Nama Ibraniku Lea, tapi aku suka dipanggil Helen," ungkap Leila membuka cerita seperti dikutip alarabiya.net, Kamis (19/4).
Leila menuturkan, saat berusia enam tahun ia menetap di Palestina, hanya beberapa bulan sebelum negara Yahudi Israel dideklarasikan Mei 1948. Leila bersama keluarganya menumpang kapal yang mengangkut imigran Yahudi dari Yugoslavia. Selama seminggu, kapal yang ditumpanginya terkatung-katung di lepas pantai Haifa. Saat itu, Inggris melakukan pengeboman di utara pelabuhan," kata dia yang merupakan keturunan Hungaria dan Rusia ini.
Sebelum memutuskan pindah ke Palestina, Leila bersama keluarga menetap di Austwitz. Saat itu, ibu Leila bekerja sebagai pembantu di rumah seorang dokter. Sedangkan ayahnya adalah tukang kebun. "Aku lahir di sana. Aku disembunyikan dokter Kristen dengan handuk. Dokter itu pula yang menyelamatkan keluarganya selama tiga tahun di bawah lantai rumah dalam kamp," kenang Leila.
Menurut Leila, sering kali tentara Nazi Jerman berulang kali memeriksa rumah dokter tempat Leila dan keluarga tinggal. Ia pun menyaksikan bagaimana Nazi membunuh anak-anak. Beruntung, berulang kali dokter ini menyelamatkan Leila dan keluarganya. "Aku ingat betul, bagaimana ibu memberi makan kami roti kering yang direndam dalam air garam," kata dia.
"Aku juga ingat, apa yang ku kenakan saat itu yakni piyama bergaris hitam dan putih. Aku juga ingat bagaimana mereka melakukan pemukulan di kamp. Jika aku cukup sehat, aku akan kembali melihatnya tapi aku takut lantaran sudah empat kali melakukan serangan jantung," paparnya yang kini telah mantap menjadi muslimah.
Leila mengaku, sulit untuk mengingat bagaimana begitu banyak orang menderita. Karena itu, sulit bagi dirinya untuk menceritakan kisah pilu kepada keluarga. "Begitu menakutkan dan sangat menakutkan," katanya yang mampu berbicara dalam bahasa Ibrani dan Arab.
Pada tahun 1945, mereka dibebaskan. Mereka pindah ke Palestina. Sebelumnya, Leila dan keluarga dimasukan terlebih dahulu di kamp Atlit, sekitar 20 km dari Haifa. Lalu, 20 tahun kemudian, Leila memutuskan pindah ke Holon lalu ramat Gan dekat Tel Aviv.
10 tahun kemudian, Leila menikah dengan pria Arab bernama Ahmed Jabarin. Dan Leila pun mengikuti suami untuk menetap di Umm al-Fahm. "Aku kawin lari saat berusia 17 tahun. Keluarga menolak pernikahan ini," kenang Leila.
Meski demikian, tidak butuh lama bagi Leila untuk berdamai dengan keluarga besarnya. Ibunya pun menyarankan Leila untuk masuk Islam. "Dia bilang aku harus masuk Islam untuk menyelamatkan dirinya dari wajib milter," katanya.
Hingga saat ini, Leila masih merasa trauma dengan masa lalu yang kelam. Untuk alasan itulah, ia tidak menceritakan masa lalunya kepada delapan anak dan 31 cucunya. "Aku hanya menunggu saat yang tepat untuk memberitahu mereka," kata dia.
Beberapa hari lalu, seorang dari dinas sosial Israel muncul untuk berbicara soal masa lalu Leila. "Setiap hari itu diperingati, aku merasakan bagaimana memakan roti kering yang direndam air garam. Aku sendiri tidak tahu apa yang selanjutnya terjadi padaku," ujarnya.
Anak Leila, Nader Jabarin, 33 tahun, baru paham mengapa ibunya selalu menangis saat tragedi itu terjadi. "Aku sering melihat beliau menangis ketika peringatan tragedi holocaust terjadi. Tapi saya paham sekarang," pungkasnya.