REPUBLIKA.CO.ID, Namun, Abu Ja’far memberikan standardisasi dan kriteria terpenting guna dijadikan acuan penulisan kitab nantinya.
Standarisasi tersebut berkaitan dengan posisi perspektif fikih yang moderat. Yakni, tidak seperti Abdullah bin Umar yang condong kaku ataupun Abdullah bin Abbas yang terlampau menggampangkan maupun coraknya terlalu asing ala fikih Abdullah bin Mas’ud.
Dengan standarisasi itu, kitab tersebut bisa dijadikan sebagai acuan umum bagi umat Islam. Dan latar belakang inilah yang menjadi dasar penamaan kitab tersebut dengan nama Al-Muwaththa yang berarti rujukan.
Kendati permintaan tersebut datang dari seorang khalifah, Imam Malik tak langsung mengabulkannya. Sebab, dalam pandangan Imam Malik, masing-masing kelompok Muslim memiliki metode ijtihad dan rujukan tersendiri sehingga tak etis jika kemudian membatasi dan menyatukan pendapat-pendapat menjadi satu.
Meski demikian, pada akhirnya Imam Malik menerima masukan sang Khalifah dan lalu mengarang kitab yang dimaksud. Imam Malik merampungkan penulisan kitab ini selama kurun waktu sekitar 40 tahun.
Sahih setelah Bukhari-Muslim
Menyoal posisi Al-Muwaththa sebagai deretan kitab referensi hadis, para ulama berselisih pandang. Terdapat pendapat yang menyatakan nilai Al-Muwaththa berada di atas level kitab Shahih Bukhari dan Muslim. Pendapat ini diutarakan oleh Abu Bakar Ibnu Al-Arabi. Menurut dia, Al-Muwaththa adalah kitab dasar hadis pertama yang disusul kemudian kitab Shahih Bukhari.
Dalam perspektif Ibnu Al-Arabi, kedua kitab dasar itu menjadi landasan dalam penulisan kitab hadis selanjutnya. Seperti Shahih Muslim, Tirmidzi, Ibnu Majah, dan lainnya. Pendapat ini nyaris diperkuat oleh Imam Syafi'i yang mengatakan tak ada kitab apa pun setelah Alquran yang lebih akurat dari Al-Muwaththa karangan Malik.
Pendapat ini menurut Jalaluddin As-Suyuthi tidak seratus persen salah. Sebab, memang pernyataan As-Syafi'i tersebut ada sebelum kitab-kitab hadis sekaliber Shahih Bukhari muncul.
Sementara itu, menurut Ad-Dahlawi, Al-Muwaththa berada dalam satu level dan sejajar dengan dua kitab Shahih, yaitu Bukhari dan Muslim, sekalipun dalam Al-Muwaththa terdapat hadis-hadis mursal ataupun maukuf.
Pendapat ini diperkuat oleh Ahmad Syakir. Menurutnya, kendati Al-Muwaththa memuat hadis-hadis mursal, tetapi keberadaannya tetap tak mengurangi nilai dan kualitas karya Imam Malik tersebut.