REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Nidia Zuraya
Sosoknya dikenal luas sebagai pendiri Hizbut Tahrir sebuah gerakan politik berasas Islam berskala internasional. Nama lengkapnya Syekh Muhammad Taqi al-Din bin Ibrahim bin Mustafah bin Ismail bin Yusuf al-Nabhani. Cucu dari Syekh Yusuf al-Nabhani, seorang ulama terkemuka di era Kekhalifahan Turki Utsmani itu adalah seorang hakim (qadi), penyair, sastrawan, dan sarjana Islam.
Tokoh yang dikenal dengan nama Syekh Taqiyuddin al-Nabhani itu dilahirkan pada 1909 di daerah Ijzim. Namanya dinisbatkan kepada kabilah Bani Nabhan, yang termasuk suku Arab penghuni padang sahara di Palestina.
Syekh Taqiyuddin sejak kecil telah menimba ilmu agama dari sang ayah. Ayahnya adalah seorang pengajar ilmu-ilmu syariah di Kementerian Pendidikan Palestina. Ibunya juga menguasai beberapa cabang ilmu syariah yang diperolehnya dari ayahnya, Syekh Yusuf al-Nabhani.
Sang kakek dan ayahnya juga berjasa dalam mengajarkan hafalan Alquran, sehingga di usianya yang belum baligh, yakni di bawah 13 tahun, Syekh Taqiyuddin sudah hafal seluruh isi Alquran. Syekh Taqiyuddin juga mendapatkan pendidikan umum dengen bersekolah di sekolah dasar di daerah Ijzim.
Ia lalu melanjutkan ke jenjang sekolah menengah di Akko. Sebelum menamatkan studinya di Akko, atas dorongan kakeknya, Syekh Taqiyuddin memutuskan hijrah ke Kairo untuk meneruskan pendidikannya di sana. Setibanya di Kairo, ia kemudian mendaftar di Tsanawiyah Al-Azhar pada 1928.
Pada tahun yang sama ia meraih ijazah dengan predikat sangat cemerlang. Lalu ia melanjutkan studinya di Kulliyah Darul Ulum yang saat itu merupakan cabang Al-Azhar. Selain itu, ia juga banyak menghadiri halaqah-halaqah ilmiah di Al-Azhar yang juga diikuti oleh para syekh Al-Azhar.
***
Saat menempuh pendidikan di Al-Azhar, sosoknya telah mampu menarik perhatian para murid lainnya dan para guru. Betapa tidak. Ia dikenal sebagai mahasiswa yang berpikir berpikir cermat dan pendapat serta hujjah (argumentasi) yang dilontarkan dalam perdebatan-perdebatan dan diskusi-diskusi ilmiah begitu memukau.
Biasanya, acara debat dan diskusi ilmiah itu diselenggarakan oleh lembaga-lembaga kajian ilmu di Kairo dan di negeri-negeri Islam lainnya. Pada 1932, Syekh Taqiyuddin menamatkan kuliahnya di Darul Ulum. Di tahun yang sama ia menamatkan studinya di Al-Azhar Asy-Syarif menurut sistem lama.
Para mahasiswa Al-Azhar Asy-Syarif dapat memilih beberapa syekh Al-Azhar dan menghadiri halaqah-halaqah ilmiah mereka yang di antaranya membahas mengenai bahasa Arab dan ilmu-ilmu syariah seperti fikih, ushul fikih, hadis, tafsir, tauhid dan lain sebagainya.
Pertumbuhan Syekh Taqiyuddin dalam suasana keagamaan yang begitu kuat amat berpengaruh besar dalam pembentukan kepribadian dan pandangan hidupnya. Setelah menyelesaikan pendidikannya, Syekh Taqiyuddin kembali ke Palestina untuk kemudian bekerja di Kementerian Pendidikan Palestina.
Ia bekerja sebagai tenaga pengajar di sebuah sekolah menengah atas negeri di Haifa. Selain itu, Syekh Taqiyuddin juga mendedikasikan dirinya untuk mengajar di sebuah madrasah Islam di Haifa.
Pada 1940, Syekh Taqiyuddin diangkat sebagai musyawir (pembantu qadi). Jabatan itu terus emban hingga1945, yakni saat ia dipindah ke Ramallah untuk menjadi qadi (hakim) pada Mahkamah Ramallah hingga 1948. Setelah itu, ia hijrah dari Ramallah menuju Suriah sebagai akibat jatuhnya wilayah Palestina ke tangan Yahudi.
Tak lama kemudian, Syekh Taqiyuddin memutuskan untuk kembali ke Palestina atas permintaan salah seorang sahabatnya. Ia kemudian diangkat sebagai qadi di Mahkamah Syariah Al-Quds.
***
Terjun ke politik
Pada 1951, Syekh Taqiyuddin berkesempatan mengunjungi kota Amman, Yordania, untuk menyampaikan ceramah-ceramahnya kepada para pelajar madrasah tsanawiyah di Kulliyah Ilmiyah Islamiyah. Hal ini terus berlangsung hingga awal 1953.
Setelah tidak lagi mengisi ceramah di Kulliyah Ilmiyah Islamiyah, Syekh Taqiyuddin mulai aktif di dunia politik. Ketertarikannya terhadap politik sebenarnya sudah berlangsung sejak menginjak usia remaja. Di usianya yang masih terbilang belia, Syekh Taqiyuddin sudah memulai aktivitas politiknya karena pengaruh kakeknya, Syekh Yusuf al-Nabhani.
Kiprahnya dalam dunia politik yang paling menonjol adalah ketika beliau mendirikan partai politik berasas Islam, Hizbut Tahrir yang telah dirintisnya antara tahun 1949 hingga 1953. Hizbut Tahrir secara resmi dideklarasikan pada tahun 1953 di Al-Quds (Yerusalem).
Mengutip laman wikipedia, keberadaan Hizbut Tahrir dimaksudkan untuk membangkitkan kembali umat Islam dari kemerosotan yang amat parah; membebaskan umat dari ide-ide, sistem perundang-undangan, dan hukum-hukum kufur; serta membebaskan mereka dari cengkraman dominasi dan pengaruh negara-negara kafir.
Berlandaskan tujuan itu, Hizbut Tahrir bermaksud membangun kembali Daulah Khilafah Islamiyah di muka bumi, sehingga hukum yang diturunkan Allah SWT dapat diberlakukan kembali.
***
Di luar aktivitas politiknya, Syekh Taqiyuddin kerap meluangkan waktunya untuk dengan menulis buku. Beliau telah menyusun berbagai macam kitab penting yang dapat dianggap sebagai kekayaan pemikiran tang tak ternilai harganya.
Karya-karyanya tersebut menunjukkan bahwa Syekh Taqiyuddin merupakan seorang cendekiawan dan tokoh Islam yang mempunyai pemikiran brilian dengan analisis yang cermat. Sedikitnya terdapat 25 hasil karya Syekh Taqiyuddin al-Nabhani yang paling terkenal, yang memuat pemikiran dan ijtihadnya.
Karya-karya tersebut antara lain: Nizhamul Islam, At Takattul Al Hizbi, Mahafim Hizbut Tahrir, An Nizhamul Iqthishadi fil Islam, An Nizhamul Ijtima'i fil Islam, Nizhamul Hukm fil Islam, Ad Dustur, Muqaddimah Dustur, Ad Daulatul Islamiyah, Asy Syakhshiyah Al Islamiyah (3 jilid), Mafahim Siyasiyah li Hizbit Tahrir, dan Nazharat Siyasiyah li Hizbit Tahrir.
Karya-karyanya yang lain adalah Nida' Haar, Al Khilafah, At Tafkir, Ad Dusiyah, Sur'atul Badihah, Nuqthatul Inthilaq, Dukhulul Mujtama', Inqadzu Filisthin, Risalatul Arab,Tasalluh Mishr, Al Ittifaqiyyah Ats Tsana'iyyah Al Mishriyyah As Suriyyah wal Yamaniyyah, Hallu Qadliyah Filisthin ala Ath Thariqah Al Amrikiyyah wal Inkiliziyyah, dan Nazhariyatul Firagh As Siyasi Haula Masyru' Aizanhawar.
Kesemua karyanya itu belum termasuk ribuan risalah (nasyrah) mengenai pemikiran, politik, dan ekonomi, serta beberapa kitab yang dikeluarkan atas nama anggota Hizbut Tahrir.
Beliau wafat di kota Beirut, Lebanon pada 20 Desember 1977 atau bertepatan dengan tahun 1398 Hijriyah dalam usia 68 tahun. Jasadnya dimakamkan di Al-Auza'i di Beirut.
***
Dari Al-Quds ke Penjuru Dunia
Syekh Taqiyuddin al-Nabhan mendeklarasikan berdirinya Hizbut Tahrir di Al-Quds pada 1953 denga dua tujuan mulia. Pertama, melangsungkan kehidupan Islam. Kedua, mengemban dakwah Islam ke seluruh penjuru dunia. Syekh Taqiyuddin mencoba mengajak umat Islam agar kembali hidup secara Islami di ‘’negara Islam’’ dan dalam lingkungan masyarakat Islam.
Ia mendambakan umat Islam hidup berlandaskan pada standar halal dan haram di bawah naungan Daulah Islam yang dipimpin oleh seorang khalifah yang diangkat dan dibaiat oleh umat Islam untuk didengar dan ditaati. Khalifah yang telah diangkat berkewajiban menjalankan pemerintahan berdasarkan Kitabullah dan Sunah Rasul-Nya serta mengemban risalah Islam ke seluruh penjuru dunia dengan dakwah dan jihad.
Syekh Taqiyuddin menghidupkan Hizbut Tahrir sebagai upaya untuk membangkitkan kembali umat Islam dengan kebangkitan yang benar melalui pemikiran yang tercerahkan. Hizbut Tahrir berusaha untuk mengembalikan posisi umat Islam ke masa kejayaan dan keemasannya, yakni tatkala umat dapat mengambil alih kendali negara-negara dan bangsa-bangsa di dunia ini.
Hizbut Tahrir yang didirikan Syekh Taqiyuddin berjuang agar umat Islam dapat menjadikan Daulah Islam sebagai negara terkemuka di dunia, sebagaimana yang telah terjadi di masa silam, yakni sebuah negara yang mampu mengendalikan dunia ini sesuai dengan hukum Islam. Organisasi Hizbut Tahrir berkembang ke seluruh dunia, termasuk Indonesia.