REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Guru besar hadis Institut Ilmu-Ilmu al Qur'an (IIQ) Jakarta, Ali Mustafa Yakub, menegaskan Islam tidak pernah memusuhi seni dan budaya yang berkembang di tengah masyarakat. Ia juga mengatakan bahwa seni seperti bernyanyi atau menari diperbolehkan dalam Islam selama tidak melanggar rambu-rambu yang diharamkan.
''Pada prinsipnya dalam hubungan muamalah, kegiatan seni itu diperbolehkan sepanjang tidak ada dalil yang melarangnya,'' kata Ali pada seminar bertajuk Seni Islam dan Kebutuhan Industri dari Masa ke Masa di Jakarta, Rabu (14/3).
Ali mengatakan, suara perempuan yang bernyanyi bukan bagian dari aurat. Pendapat itu didasari karena pada masa hidupnya nabi Muhammad pernah berbicara dengan wanita lain. ''Ini pendapat dari ulama yang kuat,'' katanya. ''Suara perempuan itu bukanlah aurat sehingga lelaki yang bukan mahromnya boleh saja mendengarkan.''
Rambu-rambu yang mengharamkan di dalam Islam itu, kata Ali, jika seorang wanita tampil di depan umum dengan menari berbusana yang melanggar aurat. Lalu tarian itu menjadi haram, kata imam besar masjid Istiqlal ini, jika dilakukan di hadapan lelaki yang bukan mahromnya. ''Beda halnya jika perempuan tanpa busana itu menari di depan lelaki yang menjadi mahromnya.''
Ia kemudian menyimpulkan, semua hal yang datang dari nabi dan berkaitan dengan agama maka harus itu menjadi wajib untuk diikuti. Sebaliknya jika berkaitan dengan seni budaya maka hal tersebut bersifat bebas dari ketentuan haram.
Sementara itu Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI), Cholil Ridwan, mengatakan, Islam mempunyai kebudayaan. Kebudayan Islam itu kemudian hadir untuk menyelamatkan manusia dari keterpurukan moral.
Dalam pengantarnya, Cholil juga menyatakan bahwa seni adalah salah satu fitrah dasar umat manusia. ''Seni adalah keindahan dan pada dasarnya fitrah lurus umat manusia untuk mencintai keindahan,'' katanya.
Oleh karena itu, Cholil menegaskan, Islam tidak hanya mengakui fungsi seni saja. ''Akan tetapi juga mengakui keberadaannya sebagai sesuatu yang tak terpisahkan dari diri manusia.''
Ia juga mencontohkan budaya Islam yang paling bersejarah dan menonjol adalah bahasa. Budaya Islam itu, kata Cholil, adalah bahasa Arab yang tercermin melalui Alquran.
''Bahasa itu ibunya budaya. Bahasa Indonesia ini lebih dari 50 persen berasal dari bahasa Arab. Ini artinya bahasa Indonesia itu merupakan sumbangsih Islam buat bangsa Indonesia,'' paparnya.
Kritik Karya Islam Secara terpisah sineas senior Deddy Mizwar justru menyampaikan kritik terhadap karya seni yang tercermin lewat film. Menurut Tokoh Perubahan Republika ini, sekarang masih banyak karya berupa film maupun sinetron yang hanya menjadikan Islam sebagai simbol. Karya-karya tersebut ternyata belum mampu menyampaikan pesan secara Islami.
''Soalnya yang memproduksi karya-karya tersebut bukan orang Islam, tapi tontonan yang dijualnya diklaim tontonan Islami. Itu artinya tontonan semacam itu hanya sebagai barang dagangan saja,'' kata Deddy.
Deddy mengakui saat ini film maupun sinetron berbalut religi Islami memang sangat banyak bermunculan. Sayangnya, kata dia, tujuan yang hendak disampaikan oleh para pembuatnya bukan untuk mengkampanyekan Islam. ''Ini salah satu tantangan yang berat,'' ujarnya.
Tantangan lainnya yang dihadapi, kata Deddy, masih ada kecenderungan umat Islam sekarang ini kurang mau membicarakan agamanya sendiri menjadi sebuah tema cerita yang menghibur. Kondisi ini, sambungnya, tak lepas juga dengan masih minimnya pembuat naskah skenario yang benar-benar mengerti dan mengenal apa itu Islam.
''Pertanyaannya juga apakah umat Islam itu mau ngak bicara agamanya sendiri. Apa kita hanya mau menjadi penonton atau konsumen selamanya saja?'' kata pria yang juga menjadi produser serial Para Pencari Tuhan ini.