Sabtu 17 Mar 2012 06:15 WIB

Islamisasi ala Raja-raja Sulawesi Selatan

bangunan gowa
Foto: dok
bangunan gowa

REPUBLIKA.CO.ID,Inilah kampung pewaris ''pakaian'' Nabi Ibrahim. Wajahnya, seperti jamaknya kampung lainnya di Kotamadya Ujungpandang, sangat bersahaja. Rumah penduduk baku sosok, tak teratur. Keistimewaan tak membias dari kampung seluas 2x1,5 ha itu. Tapi, siapa menduga jika Paropo --kampung yang kumuh itu-- merupakan satu-satunya kampung yang menyimpan kesenian tradisional Sulsel: Pepe pepea ri Makka yang mengandalkan kekebalan tubuh penari terhadap sengatan api.

Mengapa hanya di Paropo? Untuk mengail jawabannya, bukan pekerjaan gampang. Seperti tariannya yang mistis, riwayat tarian ini pun diselimuti misteri --tak ada bukti tertulis yang menyebut ikhwal kehadirannya. Jafar maupun Arsyad hanya menyebut, tarian itu diwariskan dari nenek moyang mereka sejak Islamisasi di Kerajaan Gowa.

Bila Islamisasi Kerajaan owa yang menjadi acuan, seperti yang disebut-sebut pewarisnya kini, berarti tarian tersebut diciptakan di atas tahun 1605. Ini lantaran Islamisasi Kerajaan Gowa bermula dari Manrabbia yang meneguhkan dirinya memeluk Islam, Jumat 20 September 1605. Ia menerima Islam dari Dato ri Bandang, ulama Minang yang mengembangkan syiar Islam ke sana.

Pengislaman itu, seperti tari Pepe, diwarnai kekebalan. Alkisah, Raja Gowa I Manga'rangi menuntut Dato ri Bandang menunjukkan kedahsyatan agama Islam. Ulama Minangkabau ini pun menusukkan badik ke lengannya. Ajaib, darah tak mengucur. ''Kisah pengislaman raja-raja di Sulsel memang diwarnai kesaktian dan supranatural,'' ujar Dr Abu Hamid, dosen Antropologi Unhas.

Agaknya beralasan jika tari Pepe merupakan produk budaya di masa Islamisasi kerajaan-kerajaan di Sulsel. Disebut-sebut merupakan media dakwah yang digunakan Lomo ri Antang bersama adik kandung Dato ri Bandang --yaitu Dato ri Pa'ggentungang-- tarian ini, memang memiliki bau Islam yang menyengat.

Contohnya, seperti yang dikenang Arsyad semasa bocah. Penghuni Kampung Paropo selalu menarikannya di saat menjelang lebaran. Mengutip kisah leluhurnya, Arsyad menyebutkan, ketika ramadhan hampir usai, umat Islam di sana bergembira. Cermin kegembiraannya, mereka pun memasang obor di halaman rumah. Di saat seperti itu, penduduk turun ke halaman. Kegembiraan yang meluap membikin mereka memainkan api obor. ''Mungkin dari situ tercipta tari Pepe,'' Arsyad mencoba menebak ikhwal kelahirannya.

Dari keriaan di halaman ini, tarian itu terus berkembang. Dari buyut Arsyad turun ke kakeknya. Kemudian, kekeknya mewariskan kepada orangtuanya. Kini Arsyad dan handai taulan sebayanya, giat melatih 14 pemuda --terdiri dari anak dan keponakan-- untuk mewariskan tarian tersebut. Kendati hidup di alam modern, para pemuda yang tak tersentuh pendidikan tinggi itu, tak menampik warisan leluhurnya. ''Mereka justru kini lebih kuat dan tahan lama dipanggang,'' Arsyad bangga tarian itu tak lekang dimakan jaman.

Paropo

Lalu, mengapa ''pakaian'' Nabi Ibrahim itu hanya dimiliki penduduk Paropo? Agaknya, ini karena kekukuhan Arsyad dan generasi sebayanya, memenuhi pesan tetua. Pesan itu melarang pewarisan tarian ini kepada penduduk di luar Paropo yang hingga kini dihuni 800 kepala keluarga yang masih memiliki pertalian keluarga. Penyebabnya, jika tarian ini diajarkan kepada orang lain, niscaya ''kunci''-nya jatuh kepada orang yang tak semestinya memiliki. Dengan demikian, mereka yang usil mudah ''memasuki'' dan mengganggu para penari saat meragakan kekebalan. ''Ini membikin kami merasa aman, karena tak ada orang yang bisa mengganggu kami dengan melaga ilmu saat tarian berlangsung,'' kisah Jafar.

Tapi benarkah penduduk Paropo itu pewaris ''pakaian'' Nabi Ibrahim? Abu Hamid, dosen Antropologi Unhas, menilai mereka ''mengenakan baju Islam serta mencampuradukkan doanya, tetapi berjiwa kepercayaan lama.'' Masalahnya, menurutnya, tak sedikit umat Islam di Makassar --terutama dari kelompok sosial jelata-- menganut aliran tarekat yang ditabiri nuansa mistis. ''Contohnya, lihat Haji Bawakaraeng.'' (kepercayaan segelintir penduduk di sana bahwa dengan mendaki puncak Gunung Bawakaraeng di Malino berarti telah menunaikan ibadah haji --red).

Kelompok tarekat ini, berdasarkan penelitian yang pernah dilakukannya, masih memadukan unsur magis dari masa animisme dengan Islam. ''Islam menjadi baju, sedangkan esensi magisnya dari kepercayaan lama,'' jelasnya. Tetapi, begitulah yang terjadi di mana-mana. Budaya lama atau asli lokal, bertemu dan bercampur dengan budaya baru. Kemudian muncullah budaya ''mestizo'' yang kemudian diserap dan dijiwai sebagai bagian dari identitas kelompok yang baru.

sumber : berbagai sumber
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement