REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Nidia Zuraya
Wakaf memiliki peran penting dalam peradaban Islam. Pada era kejayaan Islam, wakaf menjadi salah satu pilar pembangunan dinasti-dinasti Islam. Sri Nurhayati dalam tulisannya yang bertajuk Akuntansi Syariah di Indonesia, mengungkapkan, pada masa pemerintahan Dinasti Umayyah dan Abbasiyah, kaum Muslim yang mampu berduyun-duyun untuk melaksanakan wakaf.
Pada zaman itu, wakaf tidak hanya dikelola dan didistribusikan untuk orang-orang fakir dan miskin saja, tetapi wakaf menjadi modal untuk membangun lembaga pendidikan, membangun perpustakaan dan membayar gaji para stafnya, gaji para guru dan beasiswa untuk para siswa dan mahasiswa.
Antusiasme masyarakat Muslim untuk berwakaf telah menarik perhatian penguasa Dinasti Umayyah dan Abbasiyah untuk mengatur dan mengelola wakaf. Maka, dibentuklah lembaga yang mengatur wakaf. Lembaga itu bertugas untuk mengelola, memelihara dan menggunakan harta wakaf, baik secara umum seperti masjid atau secara individu atau keluarga.
Taubah bin Ghar al-Hadhramiy yang menjabat sebagai hakim di Mesir pada masa Khalifah Hisyam bin Abdul Malik (724-743 M) dari Dinasti Umayyah, misalnya, telah merintis pengelolaan wakaf di bawah pengawasan seorang hakim. Ia juga menetapkan formulir pendaftaran khusus dan kantor untuk mencatat dan mengawasi wakaf di daerahnya.
Upaya itu mencapai puncaknya dengan berdirinya kantor wakaf yang berfungsi sebagai tempat pendaftaran dan kontrol terhadap harta yang diwakafkan. Lembaga wakaf itu tercacat sebagai yang pertama dalam mengelola administrasi wakaf di Mesir, bahkan di seluruh negeri Islam pada masa itu.
Setelah itu, Hakim Taubah mendirikan lembaga wakaf di Basrah. Sejak itulah pengelolaan wakaf berada di bawah kewenangan lembaga kehakiman. Keberadaan lembaga wakaf itu dilanjutkan pada masa pemerintahan Dinasti Abbasiyah.
Pemerintah Abbasiyah membentuk sebuah lembaga yang bernama Shadr al-Wuquuf. Lembaga wakaf itu bertugas mengurusi masalah administrasi dan memilih staf pengelola lembaga wakaf.
Pada masa Dinasti Ayyubiyah di Mesir, perkembangan wakaf cukup menggembirakan, hampir semua tanah-tanah pertanian menjadi harta wakaf yang dikelola oleh negara dan menjadi milik negara.
Ketika Shalahuddin al-Ayyubi memerintah di Mesir, ia mewakafkan tanah-tanah milik negara untuk diserahkan kepada institusi agama dan sosial yang ada pada masa itu. Langkah serupa juga pernah dilakukan oleh penguasa Islam di Mesir sebelumnya dari Dinasti Fathimiyah.
Perkembangan wakaf pada masa Dinasti Mamluk sangat pesat dan beraneka ragam. Pada masa pemerintahan Mamluk, apapun yang dapat diambil manfaatnya boleh diwakafkan. Akan tetapi paling banyak yang diwakafkan pada masa itu adalah tanah pertanian dan bangunan.
Pada masa Mamluk juga dikenal yang namanya wakaf hamba sahaya, yakni mewakafkan budak untuk memelihara masjid dan madrasah. Hal ini dilakukan pertama kali oleh pengusa Dinasti Turki Usmani ketika menaklukan Mesir,
Undang-undang wakaf
Di era Dinasti Mamluk inilah awal mula disahkannya undang-undang wakaf dalam sebuah pemerintahan Islam. Berbagai sumber sejarah menyebutkan, perundang-undangan wakaf pada Dinasti Mamluk dimulai sejak masa Sultan Dzahir Baybars al-Bandaqdari, ketika itu ia memilih hakim dari masing-masing empat mazhab.
Pada masa pemerintahan Turki Usmani, kekuasaan politik yang diraih oleh dinasti itu telah mempermudah penerapan syariat Islam, di antaranya adalah peraturan tentang perwakafan. Bahkan untuk menangangi persoalan wakaf, pada awal abad ke-19 M, pemerintahan Turki Usmani telah membentuk kabinet khusus untuk menangangi masalah wakaf.
Undang-undang Perwakafan pernah dikeluarkan oleh pemerintahan Turki Usman pada 29 November 1863. Undang-undang itu mengatur pengelolaan dan pengawasan wakaf. Undang-undang itu dipraktikkan di berbagai negara, sepertiT urki, Suriah, Irak, Lebanon, Palestina, dan Arab Saudi untuk beberapa tahun setelah pecahnya Kesultanan Turki Usmani pada 1918.