Jumat 24 Feb 2012 21:56 WIB

Hujjatul Islam: Imam Ath-Thabari, Sang Ulama Multidisipliner (2)

Rep: Nidia Zuraya/ Red: Chairul Akhmad
Imam Ath-Thabari (ilustrasi).
Foto: Blogspot.com
Imam Ath-Thabari (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, Doktor Muhammad Az-Zuhaili berkata, ''Berdasar berita yang dapat dipercaya, sesungguhnya semua waktu Abu Ja'far Ath-Thabari telah dikhususkan untuk ilmu dan mencarinya. Dia bersusah payah menempuh perjalanan jauh untuk mencari ilmu sampai masa mudanya dihabiskan untuk berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya. Dia tidak tinggal menetap kecuali setelah usianya mencapai antara 35-40 tahun.''

Karena kecintaannya terhadap ilmu pengetahuan, maka seluruh harta benda miliknya ia habiskan untuk menempuh perjalanan jauh dalam musafir menimba ilmu, menyalin dan membeli kitab.

Untuk membiayai semua perjalanannya, pada awalnya Ath-Thabari bertumpu pada harta milik ayahnya dan harta warisan milik ayahnya. Tatkala sudah kenyang menjalani hidup dengan melakukan perjalanan mencari ilmu, Ath-Thabari memutuskan untuk tinggal menetap di satu tempat.

Ia kemudian menghabiskan sisa usianya untuk menulis dan mengajarkan ilmu yang dimilikinya kepada orang lain. Setiap hari ia mampu menulis sebanyak 40 halaman. Di antara karyanya adalah Jami al-Bayan fi Tafsir Al-Qur'an yang dikenal dengan sebutan Tafsir Ath-Thabari, Tarikh Al-Umam wa Al-Muluk yang dikenal dengan Tarikh Ath-Thabari, dan Tahdzib Al-Atsar.

Cerdas dan berakhlak mulia

Sejak usia kanak-kanak, Imam Ath-Thabari dikenal memiliki otak yang encer. Dalam buku Biografi 60 Ulama Salaf karya Syaikh Ahmad Farid disebutkan bahwa Ath-Thabari sudah berhasil menghafal Alquran saat usianya tujuh tahun, menjadi imam shalat di usia delapan tahun dan menulis hadits di usia sembilan tahun.

Di antara hal lain yang menunjukkan kepandaian dan kecerdasannya adalah kisah Imam Ath-Thabari tentang dirinya sendiri tatkala dia mampu menguasai ilmu Arudh (ilmu tentang syair atau sajak) dalam tempo satu malam.

''Tatkala aku tiba di Mesir, tidak tersisa seorang ahli ilmu pun kecuali mereka menemuiku untuk mengujikan apa yang telah dikuasainya. Pada suatu hari datang kepadaku seorang laki-laki bertanya tentang sebagian tertentu dari ilmu Arudh yang aku sendiri belum mengetahui tentang ilmu tersebut. Akhirnya, aku katakan kepadanya, Aku tidak bisa bicara, karena hari ini aku tidak akan membicarakan masalah Arudh sedikit pun. Tetapi datanglah besok dan temui aku. Lalu aku pun meminjam Kitab Arudh karya Khalil Ahmad dari temanku. Malam itu aku pelajari kitab tersebut dan pagi harinya aku telah menjadi seorang ahli Arudh,'' tutur Ath-Thabari.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement