Jumat 03 Feb 2012 18:09 WIB

Jual Beli Emas Non-Tunai (1)

Rep: Nashih Nashrullah/ Red: Chairul Akhmad
Seorang pedagang menunjukkan emas batangan.
Foto: Antara/Prasetyo Utomo
Seorang pedagang menunjukkan emas batangan.

REPUBLIKA.CO.ID, Membeli barang dengan angsuran atau anggunan adalah salah satu pemandangan yang lazim ditemui di masyarakat Indonesia dan sebagian negara lain. Praktik jual beli dengan sistem itu dianggap sebagai cara alternatif memperoleh sesuatu yang diinginkan secara mudah dan ringan.

Tetapi, timbul persoalan tatkala barang yang dijadikan objek komersial itu ialah emas dan perak. Praktik muamalat jual beli keduanya yang dilakukan secara non-tunai di masa Rasulullah, tidak diperbolehkan.

Hal ini banyak terdokumentasikan di sejumlah hadis Nabi. Salah satunya hadis riwayat Muslim dari Abu Sa’id al-Khudri berbunyi, “Janganlah kamu menjual emas dengan emas kecuali sama (nilainya) dan janganlah menambahkan sebagian atas sebagian yang lain; janganlah menjual perak dengan perak kecuali sama (nilainya) dan janganlah menambahkan sebagian atas sebagian lain; dan janganlah menjual emas dan perak tersebut yang tidak tunai dengan yang tunai.” (HR. Muslim).

Implementasi dalil ini dalam konteks kekinian memunculkan ragam persepsi, terutama saat emas atau perak tak lagi diposisikan sebagai media utama bertransaksi. Perbedaan pendapat pun muncul, baik di kalangan ulama salaf atapun khalaf (kontemporer). Seperti apakah diskusi di kalangan ulama itu?

Dalam Bai' ad-Dzahab bi at-Taqsith, Syekh Abdul Hamid As-Syauqi Al-Jibali mengatakan, ulama berbeda pendapat terkait hukum jual beli emas dengan cara angsuran. Menurut mayoritas ulama dari Mazhab Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali, praktik tersebut dilarang dalam agama.

Dalam pandangan kalangan ini, emas dan perak adalah tsaman (harga, alat pembayaran, uang) yang tidak boleh dipertukarkan secara angsuran maupun tunda, karena hal itu menyebabkan riba. Hal ini berdasarkan, antara lain, hadis riwayat Ubadah bin Ash-Shamit. Rasulullah bersabda, “Jika jenis (harta ribawi) ini berbeda maka jual belikanlah sesuai kehendakmu apabila dilakukan secara tunai.”

Sedangkan pendapat kedua memperbolehkan praktik jual beli emas non-tunai. Pandangan ini masyhur dirujuk ke Ibnu Taimiyyah dan Ibnu Qayyim, dari kalangan klasik. Sebagian ulama kontemporer juga berpendapat sama dengan kedua tokoh tersebut. Di antaranya Syekh Abdurrahman As-Sa’di dan Mufti Lembaga Fatwa Mesir (Dar Al-Ifta’ Al-Mishriyyah), Syekh Ali Jumu’ah.

Menurut perspektif kelompok ini, jual beli emas dan perak diperbolehkan dengan angsuran. Keberadaan emas saat ini tidak lagi sebagai media pertukaran di masyarakat dan keduanya telah menjadi barang sebagaimana barang lainnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement