Senin 30 Jan 2012 08:30 WIB

Fikih dan Humanisme (3-habis)

Ilustrasi
Foto: Blogspot.com
Ilustrasi

Oleh: Henri Shalahuddin*

Produk Barat

The New Oxford Dictionary of English menjelaskan bahwa humanisme pada intinya adalah pandangan atau sistem pemikiran yang lebih menyandarkan pada kepentingan manusia daripada Tuhan atau hal-hal spiritual lainnya.

Adapun humanisme sekular adalah paham liberalisme, terutama pada keyakinan bahwa agama tidak selayaknya dipikirkan atau dipraktikkan dalam sistem pendidikan publik.

Sedangkan dalam ensiklopedi Britannica, humanisme adalah istilah yang diaplikasikan secara bebas pada bermacam-macam keyakinan, metode, dan falsafah yang memposisikan pusat penekanannya pada manusia. Istilah ini merujuk pada sistem pendidikan yang dikembangkan di Italia utara pada abad ke-14 dan kemudian berkembang melalui Eropa dan Inggris.

Dengan demikian, maka pada intinya humanisme adalah paham parsial yang hanya mementingkan nafsu manusiawi (hedonisme) dan mengesampingkan Tuhan. Paham ini tumbuh subur di Barat pada Abad Pencerahan yang disebabkan rasa trauma mereka terhadap otoritas gereja dan agama selama abad pertengahan.

Tokoh-tokoh Islam yang tidak kritis mengkaji sejarah peradaban Barat, dengan silaunya akan langsung menyeret ajaran Islam untuk dicocok-cocokkan dengan nilai-nilai humanisme, feminisme, liberalisme dan lain-lain yang disuarakan oleh media Barat-Kristen.

Ulama adalah penyangga moral suatu bangsa. Imam Ghazali dalam Ihya'-nya mengibaratkan ulama seperti garam di bumi. Maka apalagi yang dapat membersihkan garam, bila garam telah tercemari? Seterusnya ia juga mengibaratkan ulama seperti dokter. Tapi ketika dokter pun sakit berat, siapa lagi yang dapat mengobati pasien?

Oleh sebab itu, telah tiba masanya bagi umat Islam kembali membekali dirinya dengan tradisi "tahafut" yang telah ditumbuhkan oleh Imam Al Ghazali melalui karyanya, Tahafut Al Falasifah. Sehingga umat Islam dapat mengenal pasti apa yang menjadi masalah mereka dan apa yang hanya ditampilkan seolah-olah ia adalah masalah mereka, padahal sebenarnya adalah masalah umat agama-agama lain.

Dengan demikian, umat Islam tidak akan pernah terputus dari akar khazanah keilmuan Islam yang bersumber dari Alquran dan sunah. Inilah sanad berislam yang harus diwariskan dari generasi ke generasi.

Terputusnya rantai sanad, ibarat anak ayam yang ditetaskan dari lampu listrik, tidak tahu siapa induknya. Sehingga pada akhirnya tumbuh sebagai generasi yang tidak beradab, baik kepada Tuhan, nabi dan agamanya. Umat harus sadar, bahwa pengliruan terhadap ajaran Islam dilakukan secara serius dan sistematis.

* Peneliti INSISTS dan dosen STID M Natsir DDII Jakarta

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement