Senin 30 Jan 2012 08:00 WIB

Fikih dan Humanisme (2)

Ilustrasi
Foto: Blogspot.com
Ilustrasi

Oleh: Henri Shalahuddin*

Fikih Berwawasan Etika

Rasionalisasi 'menghukum' pelacur dengan pemberian pekerjaan tidaklah realistis. Sebab, sejauh ini belum ada pemberitaan bahwa seorang pelacur yang miskin menjadi kaya raya, lalu berhenti melacur. Tetapi sebaliknya, yang jamak terjadi bahwa berhentinya melacur karena faktor usia atau terkena AIDS. Maka maraknya pelacuran lebih disebabkan pilihan dan hobi, bukan ekonomi.

Fikih pada dasarnya adalah ijtihad yang dilakukan oleh manusia-manusia alim dan pilihan terhadap teks-teks wahyu untuk mempermudah konteks pelaksanaannya di setiap ruang dan waktu. Ijtihad senantiasa terbuka bagi mereka yang telah memenuhi kriteria dan syarat berijtihad.

Namun demikian, ijtihad selalu mengacu pada teks wahyu. Konteks dan kondisi manusia tidak bisa serta-merta mengubah teks wahyu, kecuali ada penjelasan dari teks tersebut yang membolehkannya. Contoh, larangan makan babi bisa tidak berlaku bagi orang yang sangat darurat. Pembolehan makan babi bagi mereka yang darurat ini juga dijelaskan dengan teks dan sifatnya hanya terbatas untuk mempertahankan kelangsungan hidup.

Dengan demikian tidak dapat dibenarkan bahwa karena fikih produk manusia, maka sifatnya kondisional dan bisa seenaknya diubah total karena tidak sesuai nilai-nilai humanisme dan kultur Barat sekarang, misalnya. Dengan alasan yang dangkal ini tentunya akan ditertawakan banyak orang, jika kita menolak teori gravitasi bumi, karena teori ini diciptakan manusia. Isaac Newton hanyalah menyimpulkan dari fenomena yang sering dilihatnya. Demikian juga para ulama fikih melakukan pengamatan yang serupa terhadap teks wahyu.

Inilah keunikan Islam sebagai agama wahyu yang final dan universal. Semua ajarannya berangkat dari teks wahyu, karena memang teksnya tidak bermasalah, baik dari sisi redaksi, susunan, dan keasliannya. Ini berbeda dengan agama-agama lain yang masih memperdebatkan ketiga unsur ini dalam kitab sucinya yang pada akhirnya memaknai wahyu sebatas inspirasi Tuhan dalam redaksi bahasa manusia.

Oleh sebab itu, mereka memerlukan metode kritik sejarah dan kontekstualisasi liberal agar teksnya tetap bisa diterima. Maka wahyu bagi mereka bersifat lokal, kondisional, dan selalu berevolusi sesuai ruang dan waktu.

Sayangnya, ada segelintir tokoh Islam yang mengecilkan peran ulama fikih. Bahkan ada yang berkata, "Fikih yang disusun di dalam masyarakat yang dominan laki-laki, seperti di kawasan Timur Tengah ketika itu, sudah barang tentu akan melahirkan fikih bercorak patriarki." (Argumen Kesetaraan Jender, Paramadina, 2001:292).

Tidak hanya fikih, bahkan Alquran pun didudukkan sejajar dengan naskah-naskah lainnya, sehingga layak dipertanyakan asal-usul dan keasliannya (hal 265), serta mencurigai Tuhan karena telah menggunakan bahasa Arab yang cenderung bias jender sebagai media untuk menyampaikan ide-Nya (hal 277).

* Peneliti INSISTS dan dosen STID M Natsir DDII Jakarta

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement