Senin 30 Jan 2012 07:30 WIB

Fikih dan Humanisme (1)

Ilustrasi
Foto: Blogspot.com
Ilustrasi

Oleh: Henri Shalahuddin*

Kemajuan teknologi yang dicapai Barat saat ini, telah mengantarkan mereka sebagai pemimpin dan sekaligus  panutan ideal bagi bangsa-bangsa di dunia ketiga, termasuk Indonesia. Kebiasaan meniru bangsa yang lebih kuat tidak terbatas dalam hal slogan, cara berpakaian, gaya hidup, dan adat istiadatnya, tetapi juga mencakup cara mereka beragama.

Bahkan, karena silaunya terhadap Barat, Taha Husein, seorang pakar sastra Arab asal Mesir (1889-1976), dalam bukunya, Mustaqbal al-Tsaqafah fi Misr, berujar, "Kita harus meniru (gaya hidup) orang-orang Eropa agar dapat sejajar dengan mereka dalam peradaban; apakah itu baik atau buruk, manis atau pahit, dan yang disukai atau yang dibenci dari mereka." (1982:54).

Sehingga tidak aneh, bila kemudian ada sebagian kecil tokoh Islam yang berusaha mencocok-cocokkan ajaran dan khazanah Islam, seperti tafsir, fikih dan teologi dengan nilai-nilai Barat modern, termasuk paham humanismenya. Padahal, Ibnu Khaldun (1332-1406 M) secara kritis telah menganalisis kebiasaan buruk ini di kalangan bangsa pecundang dalam bukunya, Al-Muqaddimah.

Tradisi Fikih

Dalam perkembangan lebih lanjut, khazanah keilmuan Islam yang memperjelas ruang lingkup fikih dari ilmu-ilmu lainnya. Imam Syafi'i mendefinisikan fikih sebagai ilmu yang menjelaskan secara praktis hukum-hukum syariat, yang disimpulkan dari dalil-dalilnya yang rinci.

Fikih bersumber dari teks-teks wahyu (Alquran dan sunnah), baik petunjuk lafadznya yang bersifat pasti maupun praduga yang kuat. Para ulama fikih yang bermartabat, sejak dulu mengabdikan umurnya untuk memecahkan persoalan-persoalan implementatif yang pelik seputar hukum Islam yang terkait dengan petunjuk lafadz dalam sebuah ayat dan hadis. Sehingga dalam hal ini, mereka pun sepakat untuk menempuh metode 'apabila hadis itu sahih, maka itulah madzhabku'.

Dalam fikih, petunjuk lafadz menjadi kajian sentral. Sebagai contoh lafadz perintah dalam Alquran, tidak selalu bersifat wajib atau sunah tetapi ada yang bersifat mubah. Petunjuk lafadz yang bersifat wajib pun, menghasilkan pendapat yang berbeda di antara ulama fikih. Contohnya QS 24:2 yang berbunyi, "Perempuan dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya 100 kali dera."

Para ulama dan imam-imam madzhab, tidak ada yang berbeda pendapat bahwa perintah mendera (cambuk) di situ hanya khusus diwajibkan untuk pezina yang belum menikah. Sedangkan bagi pezina yang telah menikah, maka hukumannya adalah rajam.

Hukuman rajam ini hanya dapat dilaksanakan dengan adanya pengakuan pelaku atau adanya 4 orang saksi yang secara langsung dan bersamaan melihat perzinahan mereka, seperti terlihatnya benang masuk dalam lubang jarum. Kesaksian ini tidak boleh diwakili dengan rekaman video.

Hal yang menjadi perbedaan di kalangan ulama adalah apakah pezina yang belum menikah juga wajib diasingkan selama setahun setelah dicambuk? Mayoritas ulama mewajibkannya, sedangkan Abu Hanifah tidak. Namun, tidak satupun ulama yang bermartabat dari dulu sampai sekarang, yang memandang bahwa hukuman pezina itu (baik yang telah menikah atau belum) adalah kejam, tidak etis, dan diganti dengan pemberian pekerjaan.

* Peneliti INSISTS dan dosen STID M Natsir DDII Jakarta

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement