REPUBLIKA.CO.ID, Senin, 26 Juni 1860 M (6 Zulhijjah 1276 H), seorang calon ulama besar, Ahmad Khatib, lahir di sebuah kota Minang, Bukittinggi. Ayahnya bernama Abdullatief Khatib Nagari, saudara dari Datuk Rangkayo Mangkuto, Kepala Nagari (istilah untuk desa) Kotogadang, Kecamatan IV Koto, di seberang ngarai Bukittinggi. Sedangkan ibunya adalah Limbak Urai, saudara dari Muhammad Shaleh Datuk Bagindo yang juga seorang kepala nagari di Ampek Angkek.
Menurut banyak sumber yang mengulas tentang ulama Minang ini, ulama bernama lengkap Syekh Ahmad Khatib bin Abdul Lathif bin Abdullah Al-Minangkabawi ini merupakan keturunan dari seorang hakim gerakan Padri yang sangat anti terhadap penjajahan Belanda. Gerakan Padri adalah gerakan yang dipelopori dan dilakukan kaum padri (ulama) dalam mengawal penegakan syariat di Sumatera Barat. Perlawanan nyata kaum Padri terhadap Belanda dicatat oleh sejarah dan dikenal sebagai Perang Padri.
Saat kecil, Ahmad Khatib dikenal sebagai seorang anak yang rajin dan selalu tertarik mempelajari berbagai pengetahuan dari beragam sumber, baik itu buku maupun guru. Tahun 1870, ia masuk sekolah Belanda di Minangkabau, sebelum akhirnya melanjutkan ke Sekolah Guru (kweekschool) di Bukittinggi. Pengetahuan dasarnya tentang Islam ia peroleh dari kedua orang tuanya serta sejumlah ulama Islam lokal di sana.
Dengan pengetahuan Islam yang amat luas, Ahmad Khatib menjadi seorang ulama terkemuka. Ia memegang teguh mazhab Syafi'i dan ahlussunnah wal jama'ah. Pria Minang itu menjelma menjadi tokoh intelektual abad 19 yang membawa pewajahan baru Islam di Indonesia.
Pemikiran Ahmad Khatib yang mengarah pada pembaruan pemikiran Islam menemui banyak perlawanan karena tidak sejalan dengan adat Minangkabau. Salah satunya saat ia secara tegas menolak aturan Minangkabau tentang pembagian harta waris. Menurut adat, harta pusaka diwariskan pada kemenakan perempuan dari garis kerabat perempuan. Sedangkan kemenakan laki-laki hanya menjadi pembantu dalam menggarap dan memelihara harta pusaka itu.
Adat tersebut berlawanan dengan hukum Islam yang mengatur bahwa harta waris diberikan kepada anak kandung, dengan ketentuan anak laki-laki memperoleh dua kali lipat bagian anak perempuan. Tanpa kompromi, Ahmad Khatib menolak adat yang telah mengurat nadi dalam masyarakat Minang itu. Semua harta benda yang diwariskan kepada kemenakan, menurut pendapat Ahmad Khatib, dianggap sebagai harta rampasan.
Ia menulis buku yang secara khusus membahas perihal harta pusaka tersebut, berjudul Ad-Da'il Masmu' fir Raddi `ala man Yuritsul Ikhwah wa Auladil Akhawat ma'a Wujudil Ushl wal Furu' (dengan versi terjemahan berjudul Al-Manhajul Masyru'). Buku tersebut membahas pembagian harta waris menurut Islam dan membantah aturan harta pusakamenurut adat Minangkabau.
Ia juga menyanggah beberapa pendapat Barat tentang kedudukan bumi, bulan, dan matahari, serta peredaran planet yang ia anggap bertentangan dengan pemikiran ulama-ulama Islam dalam bidang tersebut. Dalam aspek teologis, ia adalah penentang keras ajaran Kristen, terutama tentang konsep trinitas.