REPUBLIKA.CO.ID, Selama berabad-abad lamanya, hubungan antara Sunni dan Syiah terus diwarnai perselisihan. Berbagai dialog untuk mempertemukan kedua aliran dalam Islam itu kerap dilakukan. Namun, ketegangan di antara kedua kubu itu tak juga kunjung mereda.
Akankah kedua aliran besar dalam Islam itu bersatu? Prof Dr Musthafa ar-Rifa’i lewat kitab bertajuk Islamuna fi at-Taufiq Baina as-Sunni wa asy-Syi’ah, berupaya mencari benang merah yang bisa menautkan antara Sunni dan Syiah. Tokoh kelahiran Troblus, Lebanon pada 1924 itu mencoba menghadirkan perspektif yang berbeda dan mengkaji kedua aliran itu secara fair, tanpa menghilangkan bobot dan nilai akademik.
Kitab ini mengkaji tentang kemungkinan mempersatukan antara dua kubu Sunni dan Syiah. Ar-Rifa’i menyertakan beberapa kajian penting dalam kitabnya. Ia mengupas bahasan tentang sebab kemunculan faham keagamaan Syiah, alasan penting bersatu, varian sekte yang ada dalam Syiah, serta prinsip-prinsip dan faham keagamaan mereka.
Bebarapa hal penting menjadi perhatian ar-Rifa’i, di antaranya perbedaan hukum nikah mut’ah, konsep imamah, dan kemunculan Imam al-Mahdi. Ulasan tentang persoalan itu diuraikan dengan mengomparasikan pandangan kedua belah pihak. Kesimpulannya, diarahkan untuk mencari persamaan yang mempertemukan Sunni dan Syiah.
Ar-Rifa’i menegaskan, mempertemukan kedua kubu itu bukanlah hal yang mustahil. Perbedaan yang selama ini mencuat, kata dia, pada hakikatnya bukan persoalan prinsip, melainkan masalah khilafiah yang dapat ditoleransi. Pada tataran ijtihad dan tradisi ilmiah lain, misalnya, terbuka peluang Sunni-Syiah bertemu.
Setidaknya, menurut dia, pemandangan tentang sikap saling menghormati dan toleransi diteladankan oleh para ulama Salaf. Imam Abu Hanifah mewakili Sunni dan Imam Ja’far bin ash-Shadiq mewakili Syiah. Meski berbeda mazhab dan cara pandang, kedua tokoh tak saling bermusuhan dan tidak saling menafikan.
Menurut ar-Rifa’i, keduanya justru saling meningkatkan sikap hormat dan menghormati. Dalam sebuah kisah dijelaskan bagaimana kedua pemimpin yang berbeda aliran itu hidup berdampingan dalam ukhuwah Islamiah.
Dikisahkan, Zaid bin Ali seorang pemimpin kelompok Syiah Zaidiyyah—menerima pelajaran fikih dan dasar akidah dari Abu Hanifah yang notabene tersohor sebagai imam di kalangan Sunni. Demikian sebaliknya, Abu Hanifah mempelajari hadis dan disiplin ilmu lainnya dari Imam Ja’far ash-Shadiq.
Bahkan, Abu Hanifah berguru langsung ke tokoh Syiah tersebut selama dua tahun penuh. Pujian pun kerap dilontarkan Abu Hanifah ke gurunya itu. Tak pernah bertemu guru lebih fakih dibanding Ja’far bin Muhammad.”