REPUBLIKA.CO.ID, Lalu bagaimana dengan penikahan antarsesama penderita HIV/AIDS? Komisi Fatwa MUI menyatakan, pernikahan antara perempuan dan laki-laki penderita HIV/AIDS hukumnya boleh.
Komisi Fatwa MUI dalam fatwanya menyatakan, penyakit HIV/AIDS dapat dijadikan alasan untuk menuntut perceraian apabila salah satu dari suami-istri menderita penyakit tersebut. Lalu bagaimana jika pasangan itu tetap bertekad untuk melanjutkan pernikahannya?
MUI menyatakan, jika pasasangan suami-istri atau salah satunya menderita HIV/AIDS, maka keduanya boleh bersepakat untuk meneruskan perkawinan mereka. Dalilnya adalah hadis Nabi SAW: ‘’Orang-orang Islam terikat dengan perjanjian mereka, kecuali perjanjian yang menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal.’’
‘’Suami atau istri yang menderita HIV/AIDS dalam melakukan hubungan seksual wajib menggunakan alat, obat atau metode yang dapat mencegah penularan HIV/AIDS,’’ papar Ketua Komisi Fatwa MUI, KH Ma’ruf Amin dalam fatwa tersebut. Selain itu, menurut fatwa tersebut, suami atau istri yang menderita HIV/AIDS diminta untuk tidak memperoleh keturunan.
Lalu bagaimana jika seorang ibu penderita HIV/AIDS tersebut hamil? Fatwa MUI menyatakan, wanita hamil tersebut tak boleh menggugurkan kandungannya. Hal itu didasarkan pada firman Allah SWT, ‘’Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut kemiskinan.’’ (QS Al-Israa:31).
Bahtsul Masail Diniyah Nahdlatul Ulama (NU) juga telah menetapkan fatwanya terkait pernikahan penderita HIV/AIDS dalam forum Munas NU yang digelar di Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat pada 1997. Dalam fatwanya ulama NU menyatakan, ‘’pernikahan pengidap HIV/AIDS dengan sesama pengidap, maupun bukan, hukumnya sah namun makruh.’’
Hal itu didasarkan pada Asnal Mathalib juz III, halaman 176. ‘’Dan sah namun makruh pernikahan keduanya (pengidap HIV/AIDS)…’’ Dalam hukum Islam, makruh adalah suatu perkara yang dianjurkan untuk tidak dilakukan akan tetapi jika dilakukan tidak berdosa dan jika ditinggalkan akan mendapat pahala dari Allah SWT.