REPUBLIKA.CO.ID, NEW YORK - Tahun lalu, setelah seorang warga keturan Pakistan-Amerika, dituduh berencana meledakkan bom mobil di Time Square, New York, Komisaris Polisi, Raymond Kelly mengunjungi Masjid Al-Iman di Astoria, Queens. Dalam kunjungan itu, Kelly memuji muslim pedagang kaki lima karena telah melaporkan kendaraan yang mencurigakan kepada polisi setempat.
Saat itu juga, Kelly meyakinkan seluruh jamaah di masjid bahwa tindakan berdasarkan rasial tabu bagi kepolisian. Begitupun, ia mengakui pemeriksaan secara random seringkali mengarah orang dengan gambaran khusus.
Padahal, pada tahun 2006, menurut dokumen rahasia yang diperoleh kantor berita The Associated Press, masjid yang sama dicatat NYPD sebagai terkait organisasi ekstremis yang mengembuskan sentimen anti-Amerika dan simpatisan terorisme. Berdasar inilah, NYPD memainkan jurusnya dengan, lagi-lagi, menyusupkan petugas penyamar dari NYPD ke masjid, sekaligus informan rahasia.
Oktober 2006, Presiden dari wilayah administratif Brooklyn, Marty Markowitz, menghadiri sebuah acara di hari terkahir Ramadhan, di Masjid Makki, Brooklyn. Dalam kesempatan itu, Marty menjelaskan, komunitas muslim di wilayahnya ibarat sebuah pabrik yang sukses, berorientasi komunitas, dan membawa angin peningkatan kualitas hidup. Sementara, pada bulan yang sama, NYPD justru mencatat Masjid Makki adalah masjid 'Tier One' lantaran jamaahnya dianggap berpandangan radikal. Masjid Makki pun terus dimonitor.
Selama 2006, NYPD juga memonitor dua masjid di Queens. Satu karena dianggap ikut mendanai Taliban, dan satunya lagi karena dianggap menjadi 'destination options' bagi sebuah kelompok ekstremis. Jurus ini dimainkan meski pada 2009, pejabat kota justru menyebar brosur wisata sepeda di Queen untuk mempromosikan keberagaman komunitasnya.
Menanggapi jurus memata-matai NYPD itu, Shamsi Ali mengaku tidak terkejut kalau polisi diam-diam menguping pembicaraann di dalam masjidnya. "Ke mana pun saya pergi, saya selalu merasa ada orang yang harus mendengarkan saya. Tapi selama saya selalu berbuat menurut hukum yang berlaku, saya sama sekali tidak khawatir," ujarnya.
Respons Shata senada. Bahkan lebih ramah. "Saya tetap menjadikan Michael Bloomberg (Walikota New York) sebagai teman. Tapi setahu saya, dia merasa terpukul setelah melihat dokumen kepolisian itu. Siapa pun yang mencintai kemanusiaan akan terpukul," tandas Shata. (selesai).