REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Mantan wakil presiden Jusuf Kalla (JK) mengimbau umat Islam mengindari berbagai perbedaan yang tidak substantif dalam agama. Imbauan itu diutarakan JK menanggapi sikap beberapa kelompok yang gemar mencari perbedaan dalam Islam, seperti penentuan awal Ramadhan.
“Kalau kita terus mencari perbedaan tidak akan pernah ketemu. Ramadhan harus disambut dengan hati terbuka,” kata JK di kantor Majelis Ulama Indonesia (MUI), Sabtu (30/7).
Perbedaan metode penghitungan awal bulan Ramadhan antara Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU), menurut JK, tidak usah diperdebatkan. Kedua ormas Islam tersebut mempunya dasar kuat dan hasilnya bisa dipertanggung jawabkan. Jika Muhammadiyah menggunakan metode hisab (penghitungan astronomi), maka NU memilih metode rukyat dengan melihat bulan dengan kasat mata.
Umat Islam di Indonesia, ujar JK hendaknya menghindari hal-hal yang bisa menimbulkan perpecahan. Bulan Ramadhan, kata dia, harusnya diisi dengan berbagai ibadah produktif yang bisa menguatkan rasa persatuan umat.
Karena itu, pihaknya meminta sekelompok umat Islam yang suka tadarus malam diiringi pengeras suara agar tidak melakukannya di bulan Ramadhan. Meski tujuannya baik dengan mengumandangkan ayat-ayat suci Alquran, namun hal itu dinilai JK mengganggu orang lain.
Pasalnya pada malam hari waktunya masyarakat istirahat banyak yang terganggu dengan pengeras suara. “Hal-hal sepele ini yang harus diketahui umat, karena ajaran Islam itu simple dan tidak merugikan orang lain,” kata JK.
Berkumandangnya bunyi azan yang membahana melalui menara masjid juga mendapat sorotan JK. Sebagai penanda waktu salat, suara azan dinilainya jangan terlalu keras. Apalagi jumlah tempat ibadah di penjuru Tanah Air jumlahnya sangat banyak dan berdekatan dengan rumah penduduk.
Disebutkan JK, hanya terjadi di Indonesia azan dikumandangkan secara keras hingga memekakkan telinga. Sehingga tidak sedikit yang menilai saat Maghrib tiba terjadi adu kompetisi azan antar-masjid. “Dakwah harus dilakukan dengan indah, bukan adu keras suara.
Apalagi Muslim di Indonesia dikenal moderat dan tidak suka saling menyerang satu sama lain. Hal itu karena toleransi umat Islam di Indonesia lebih bagus dibanding umat Islam di Timur Tengah, Asia Tengah, dan Afrika.
Kondisi itu, kata JK, terjadi karena faktor sejarah penyebaran Islam di Nusantara. Pola dakwah ulama di Indonesia, terang JK, menjauhi metode kekerasan dan Islam disampaikan lewat kebudayaan masyarakat setempat.
Dampaknya terlihat sekarang, umat Islam Indonesia sangat menjunjung tinggi perbedaan di tengah keragaman budaya dan agama masyarakat.