REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Zaman sekarang memang sudah sangat berbeda. Anak-anak muda dan generasi Z tumbuh dengan teknologi sebagai sahabat sehari-hari, tidak heran jika pertanyaan mereka termasuk dalam hal keagamaan bukan lagi kepada buku atau guru saja, namun kepada kecerdasan buatan yakni AI.
Wakil Ketua Komisi Informasi dan Komunikasi Majelis Ulama Indonesia (MUI), Ismail Fahmi mengatakan bahwa saat ini sudah eranya AI. Anak-anak muda dan gen Z sudah terbiasa dengan teknologi. Mereka di manapun pasti akan bertanya ke AI, sehingga tidak bisa meninggalkan AI.
Tidak ada kode iklan yang tersedia.
"Ini sama saja dengan zaman dulu kita membaca langsung dari kitab lewat Alquran cetak, kemudian ada komputer sudah bisa baca Alquran dari komputer, kemudian baca Alquran dari handphone," kata Ismail kepada Republika, Ahad (2/11/2025)
Ismail menceritakan bahwa di zaman dulu Alquran dicetak dalam ukuran kecil supaya bisa dibawa ke mana-mana dengan mudah. Sekarang mungkin sebagian orang masih ada yang membawa Alquran ukuran kecil, tapi sudah banyak anak sekarang membaca Alquran melalui handphone.
Anak-anak di zaman sekarang mempelajari sesuatu sudah menggunakan teknologi. Jadi sebetulnya AI hanya sebagai alat saja.
Ia mengingatkan bahwa yang namanya alat, bisa benar dan bisa salah. Sama seperti dulu membaca lewat jurnal, sekarang membaca lewat artikel dan analis agama di blog dan media massa.
"Apakah yang dibaca itu pasti benar? Belum tentu benar juga. Apakah kemudian tidak boleh (membaca dari blog dan media massa)? Ya boleh-boleh saja kan," ujar Ismail.
Ia menerangkan bahwa saat ini terjadi kemajuan teknologi dan perkembangan zaman. Sama seperti revolusi-revolusi sebelumnya dari kertas ke digital. Kemudian dari digital ke komputer, web dan sekarang AI.
"Jadi kita harus embrace, kita harus memanfaatkan AI, untuk belajar macam-macam," ujarnya.
Critical Thinking dan Literasi AI
Ismail yang juga Pendiri Drone Emprit mengingatkan pentingnya critical thinking dan literasi AI dalam menggunakan AI sebagai alat.
Menurutnya, yang paling penting adalah critical thinking. Sama seperti belajar agama lewat ulasan-ulasan orang yang ada di internet, belajar dari mailing list dan blog, tentu tidak langsung dipercaya.
Demikian juga dengan AI, ia menerangkan bahwa AI adalah alat untuk mengeksplorasi. Misalnya bertanya kepada AI tentang pandangan Imam Syafi'i dan iman-imam lain tentang hukum merokok, munculah jawaban dari AI. Apakah kemudian langsung dipercaya? Tentu harus cross check lagi.
"Jadi melakukan critical thinking lagi, benar atau tidaknya (jawaban yang diberikan AI), tapi AI ini jadi alat bantu," jelas Ismail.
Ismail menerangkan bahwa bisa meminta ke AI setelah memberikan jawaban untuk menunjukan sumber jawabannya dari mana. Kalau AI tidak bisa menunjukkannya maka jangan langsung dipercaya.
Karena AI seperti search engine, seperti Google. Dulu mencari informasi apapun lewat Google. Misalnya mencari hukum merokok di Google, muncul penjelasannya di situs MUI, Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama dan media massa misalnya. Jadi Google maupun AI sebenarnya alat untuk memudahkan penggunanya mencari sesuatu. AI memudahkan penggunanya mendapatkan ringkasannya. Jadi tetap harus dicek lagi sumbernya. Itulah yang disebut critical thinking.
Ismail juga menerangkan bahwa saat ini bukan hanya literasi digital tapi sudah sampai ke literasi AI.
"Literasi AI itu adalah ketika kita menggunakan AI sebagai alat untuk membantu, kita tidak langsung percaya, kita tanya ulang, kita tanya sumbernya, kita critical thinking," ujarnya.




