Jumat 08 Sep 2017 15:51 WIB

Mengamankan Aset Wakaf Butuh Peran Negara

Logo BWI
Foto: Dok. BWI
Logo BWI

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakaf di Indonesia sudah memiliki payung hukum yang kuat berupa Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 dan Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006. Kedua peraturan inilah yang menjadi dasar pelaksanaan wakaf di Indonesia saat ini.

Selain mengatur tentang tata cara pelaksanaan wakaf dan pembentukan Badan Wakaf Indonesia, keduanya juga mengatur tentang perlindungan aset wakaf. Bahkan di dalamnya juga termaktub pasal-pasal pidana terkait wakaf.

Meski demikian, hal ini tidak serta menghentikan terjadinya upaya-upaya untuk mengambil alih aset wakaf. Adanya upaya semacam ini menyebabkan status aset wakaf, terutama tanah, menjadi tidak clean and clear (artinya: masih dalam sengketa, tidak ada kepastian hukum) sehingga aset wakaf tidak bisa dikelola dan dikembangkan dengan maksimal.

Aset tanah wakaf dengan status seperti ini tidak akan bisa dikerjasamakan pihak investor untuk diproduktifkan. Demikian disampaikan Ketua Divisi Humas Badan Wakaf Indonesia Khaerul Huda di kantornya, Jakarta, Jumat (8/9/2017) siang.

“Padahal jika sudah clear and clean, tanah wakaf bisa diproduktifkan bekerja sama dengan investor dan hasilnya disalurkan untuk mauquf alaih (masyarakat penerima manfaat—red),” terang Khaerul.

Upaya-upaya pengambil-alihan semacam ini, menurut Khaerul, kadang hanya karena kesalahpahaman mengenai hukum perwakafan sehingga bisa diselesaikan melalui mediasi oleh BWI. Namun, ada juga dikarenakan adanya itikad tidak baik salah satu pihak sehingga hanya bisa diselesaikan di pengadilan.

Namun, jelas Khaerul, ketika sudah di pengadilan, urusannya tidaklah mudah bagi nazhir. Selain karena tidak punya biaya untuk menunjuk pengacara, nazhir juga biasanya tidak mempunyai SDM yang cukup untuk berperkara di pengadilan.

“Karena itu, negara harus hadir untuk mengamankan dan melindungi aset wakaf,” tegas Khaerul.

Kehadiran negara, kata Khaerul, bisa bersifat preventif maupun ketika sudah ada kasus di pengadilan. Misalnya, jika nazhir atau masyarakat melaporkan kepada Kepolisian bahwa tanah wakaf diduduki pihak lain, dan pelapor bisa memperlihatkan bukti akta ikrar wakaf atau sertipikat wakaf, Kepolisian seharusnya segera melindungi tanah wakaf itu.

“Dan jika terjadi sengketa wakaf di pengadilan, hakim seharusnya menunjukkan keberpihakan kepada wakaf sesuai dengan undang-undang wakaf yang ada,” ujar Khaerul.

Selain itu, Khaerul pun meminta Badan Pertanahan Nasional bisa mempercepat sertifikasi tanah-tanah wakaf di seluruh Indonesia. Pasalnya, sertifikat wakaf merupakan salah satu pengaman aset wakaf yang cukup kuat.

Ia pun mengapresiasi kehadiran Menteri Agraria dan Tata Ruang/ Badan Pertanahan Nasional, Sofyan Djalil; Direktur Jenderal Bimas Islam Kemenag, Profesor Muhammadiyah Amin; Kakor Sabhara Polri, Inspektur Jenderal Polisi Umar Septono; dan Ketua Muda Kamar Peradilan Agama Mahkamah Agung, Amran Suadi; dalam acara Rapat Koordinasi Nasional Perwakilan Badan Wakaf Indonesia pada 5-7 September 2017 di Jakarta.

“Kehadiran mereka menunjukkan perhatian negara pada tanah wakaf dan ke depan kita berharap pengamanan aset wakaf semakin baik dan tidak mudah diserobot,” kata Khaerul.

Menurut Khaerul, kehadiran dan perhatian negara pada perwakafan nasional pada akhirnya juga akan meringankan tugas-tugas negara kepada rakyat. “Karena tujuan akhir dari wakaf adalah menyejahterakan masyarakat, baik di bidang keagamaan, pendidikan, sosial, maupun ekonomi.”

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement