REPUBLIKA.CO.ID,DEPOK -- Direktur Departemen Ekonomi dan Keuangan Syariah Bank Indonesia (BI) Rifki Ismail menegaskan BI mendukung ekonomi berkelanjutan seperti tertuang dalam undang-undang (UU) Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (P2SK). Rifki mengatakan, wakaf merupakan salah satu instrumen yang mendukung ekonomi berkelanjutan.
"Seminar ini membahas potensi dan solusi dalam meningkatkan wakaf ke depan menjadi penentu ekonomi bangsa," ujar Irfan dalam seminar Indonesia Waqf Outlook 2024 bertajuk "Perwakafan sebagai Pilar Pembangunan Berkelanjutan: Tantangan dan Peluang di era 2024" di Hotel Royal Kuningan, Jakarta Selatan, Jumat (1/3/2024).
Rifki menilai wakaf punya potensi besar bagi perekonomian Indonesia. Namun, ucap Rifki, posisi wakaf saat ini masih bersifat volunter.
"Kalau (wakaf) sudah menjadi instrumen fiskal seperti pajak, potensinya lebih besar, namun ada konsekuensinya, seperti kalau tidak bayar pajak," ucap Rifki.
Rifki mengatakan wakaf memiliki fungsi keseimbangan, keadilan, kebersamaan, dan kemanfaatan untuk seluruh masyarakat. Rifki menyampaikan potensi besar wakaf selama masih tertahan.
Dia mencontohkan total aset wakaf Indonesia yang mencapai Rp 2.500 triliun dengan jumlah luas lahan wakaf mencapai 435 ribu hektare. Namun sayangnya, ucap Rifki, baru 57 ribu hektare lahan wakaf yang baru dioptimalkan.
"Itu pun masih didominasi untuk tiga M, masjid, musala, madrasah. Ini masih sangat besar potensinya yang harus direalisasikan," sambung Rifki.
Sebagai gambaran, Rifki mengatakan Indonesia perlu belajar tentang optimalisasi wakaf dengan sejumlah negara-negara seperti Malaysia, Turki, dan Mesir. Bahkan, Rifki menyampaikan pembangunan Universitas Oxford dan Harvard pun dilakukan dengan model wakaf yakni dalam bentuk endowment atau sumbangan.
"Universitas di Indonesia ada berapa banyak, kalau kita dapat komitmen ke wakaf tentu merupakan hal yang baik," kata Rifki.