Jumat 18 Jan 2019 16:46 WIB

Rasa Malu, Tameng dari Perbuatan Tercela

rasa malu dan keimanan dianggap sebagai pasangan yang tak terpisahkan.

Takwa (ilustrasi).
Foto: blog.science.gc.ca
Takwa (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID,  JAKARTA -- Seorang Muslim sangat dianjurkan memelihara rasa malu pada dirinya. Malu menjadi tameng bagi munculnya perilaku yang tak baik dalam kehidupannya. Tak heran jika Ibnu Allan memaknai rasa malu sebagai sebuah etika yang mendorong seseorang meningalkan keburukan.

Baik keburukan dalam bentuk perkataan, perbuatan, maupun sikap yang mencegah seseorang dari kelalaian melaksanakan hak orang lain. Menurut Mahmud al-Mishri dalam Ensiklopedia Akhlak Muhammad SAW, rasa malu itu ada dua, yaitu yang merupakan bawaan dan yang lahir karena diupayakan melalui latihan dan kerja keras.

Malu yang dicapai melalui latihan ditetapkan oleh Rasulullah sebagai cabang dari keimanan. Dalam praktiknya, dua macam rasa malu itu bersemayam dalam dirinya. Ia memang seorang pemalu karena bawaannya memang begitu. Ia pun melambari dirinya dengan rasa malu berbuat maksiat dan melanggar aturan.

Oleh karena itu, Muhammad menganjurkan umatnya untuk menghiasi diri dengan rasa malu yang akan membimbing mereka tetap pada perbuatan-perbuatan baik. Beliau mengatakan, rasa malu itu tidak akan datang kecuali pasti membawa kebaikan. Demikian hadis yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim.

Rasul menjelaskan, rasa malu dan diamnya lisan karena takut terjatuh pada perkataan haram adalah bagian dari keimanan. Sebaliknya, ucapan cabul serta kefasihan lisan tetap bukan dalam hal kebenaran. Keduanya adalah bagian dari kemunafikan. Bahkan, rasa malu dan keimanan dianggap sebagai pasangan yang tak terpisahkan.

 

sumber : Dialog Jumat Republika
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement