REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sejarah, tak sakadar kisah yang dinukil, tanpa faedah dan makna. Keberadaan sebuah fakta sejarah yang valid dan dapat dipertanggungjawabkan, memiliki kedudukan krusial dalam Islam. Sebagiannya bahkan digunakan oleh para ahli hadis, sebagai dasar sanggahan terhadap kebohongan fakta yang disematkan musuh Islam.
Ada kisah yang dinukil tentang urgensi sejarah. Konon, sekelompok Yahudi Khaibar, pernah mengklaim ke Wazir Ibnu Musallamah, bahwasanya Rasulullah SAW telah menggugurkan kewajiban membayar upeti (jiziyyah) dari mereka. Mendengar cerita itu, sang wazir tak lantas mempercayainya. Ia kemudian menanyakannya ke pakar sejarah, al-Khatib al-Baghdadi, pen garang kitab ilmu hadis terkenal al-Kifayah fi ‘Ilm ar-Riwayah. Menurut tokoh tersebut, klaim yang disampakan para Yahudi itu mengada-ada, dan tidak pernah ada faktanya.
Pendapat al-Khatib bukan tanpa dasar. Sepanjang yang ia ketahui, klaim Yahudi itu merujuk pada kesaksian Muawiyah bin Abi Sufyan. Padahal, Muawiyah baru menyatakan Islam saat peristiwa penaklukkan Makkah (fathu Makkah). Sedangkan peristiwa Khaibar, terjadi pada tahun ketujuh Hijriah. Argumentasi lain ialah keberadaan saksi Sa’ad bin Mu’adz. Ini janggal. Pasalnya, Sa’ad meninggal di tahun terjadinya perang Khandaq, sebelum perang Khaibar meletus. Masih banyak kisah lain yang menguatkan urgensi sejarah.
Dalam kitab as-Syamarikh fi Ilmi at-Tarikh, (Acuan Ilmu Sejarah), karya ulama terkemuka di abad kedelapan Hijriah, Jaladuddin as-Suyuthi, urgensi sejarah hendak diungkapkan. Kitab yang ketiga naskah manuskripnya ditemukan di perpustakaan Al- Azhar, Kairo, Mesir, itu membahas hal-hal yang berkenaan dengan sejarah.
Tetapi, jangan memba yang kan, kitab yang dika rang oleh tokoh kelahiran Kairo, 1 Rajab 849 tersebut, itu layaknya ensiklopedi kom plet sejarah dengan segenap rentetan peristiwa sekaligus data lengkap, atau membandingkannya dengan kitab-kitab sejarah sekaliber karya Ibnu Sa’ad dengan Thabaqat al-Kubra, Thabari melalui Tarikh-nya, atau barangkali Ibnu Katsir dalam karya nya al-Bidayah wa an-Nihayah. Apa yang dilakukan as-Suyuthi dalam karyanya itu ialah merangkai faktafakta sejarah yang tercecer di referensi- refensi utama tersebut.
Kitab ini ditulis cukup sederhana, hanya terdiri atas tiga bab. Tetapi, kesederhanaan itu tak mengurangi kualitas dan nilai buku tersebut. Bahkan, menyodorkan fakta mencengangkan yang mendobrak asumsi semua orang perihal, siapakah yang pertama kali memberlakukan kalender Hijriah.
Di bab pertama, tokoh bermazhab Syafii itu menulis tentang permulaan penulisan sejarah, berikut patokan yang digunakan untuk melakukan penanggalan. Pada bab kedua, ia mengemukakan sejumlah manfaat dan kegunaan sejarah. Menurut dia, ada beberapa faedah sejarah. Dengan sejarah yang dilengkapi data waktu kejadiannya, akan membantu menge tahui masa, melacak kapan sebuah karya ditulis, memberi informasi waktu kelahiran dan meninggalnya tokoh. Berbagai hal itu sangat dibutuhkan dalam disiplin ilmu hadis.
Ia mengutip perkataan para pakar. Hafash bin Ghiyat berkata, “Apabila kalian menuduh seorang rawi telah berdusta, ujilah dengan tahun.” Hamad bin Zaid juga pernah me ngatakan, informasi waktu sebagai unsur terpenting sejarah membantu membongkar kedustaan para pendusta riwayat. Dan, di bab yang terakhir, ia menyebutkan pernak-pernik berharga seputar sejarah.