Sabtu 15 Jun 2019 17:17 WIB

Kalah di Bulan Kemenangan

Kaum Muslim pernah mengalami kekalahan pada bulan kemenangan ini.

Idul Fitri Ilustrasi
Foto: Republika/Wihdan
Idul Fitri Ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dalam lembar sejarah, Syawal tidak melulu menjadi momentum manis kemenangan umat Islam. Kaum Muslim pernah mengalami kekalahan pada bulan kemenangan ini. Lihatlah Perang Uhud. Pasukan Muslimin yang seharusnya lebih siap setelah berhasil memenangkan Perang Badar, harus menelan pil pahit. 

Peristiwa itu terjadi pada 15 Syawal tahun ke-3 Hijriyah. Kemenangan yang sudah di depan mata gagal diraih karena bisikan nafsu. Muham mad Haekal dalam Sejarah Hidup Muhammad men jelaskan, enam ratus orang pa suk an Muslimin yang sebelumnya mampu menghancurkan 3.000 orang pasukan berkuda Qu raisy tidak siap untuk me nang. Me reka lebih sibuk de ngan rampasan perang.

Mereka lalai akan musuh yang mundur hanya ratusan langkah. Kaum Muslim sibuk memperebutkan harta rampasan. Pasukan pemanah yang ditugaskan untuk mengawasi di atas bukit Uhud pun me langgar perintah Rasulullah untuk tetap berada pada pos nya. Mereka tergiur karena kawan-kawannya sedang asyik berebut ghanimah.

Sahabat Abdullah bin Jubair sebenarnya sudah meng ingatkan agar mereka tidak beranjak turun ke bawah. Tidak sampai sepuluh orang pasukan pemanah yang tetap bertahan. Sebagian besar mengabaikannya.

Kelengahan kaum Muslim dilihat sebagai peluang oleh Khalid bin Walid. Khalid yang mengomandani pasukan kavelari Quraisy pun melaku lkan serangan ba lik. Pasukan Khalid ber hasil merebut pos pemanah kaum Muslimin. Mereka pun menjadi sasaran empuk pasukan Quraisy yang datang dari arah belakang. Serangan balik dila kukan. Tak siap diserang, kaum Muslimin tercerai berai. Serangan yang bahkan mematahkan gigi seri Nabi SAW. Serangan yang juga membunuh pamanda Rasulullah SAW, Hamzah.

Momentum Uhud menjadi pelajaran amat berharga bagi kita. Secara fisik, kita bisa kalah pada bulan kemenangan. Padahal, Syawal yang di dalamnya terdapat Idul Fitri disiapkan sebagai sebuah selebrasi se te lah satu bulan penuh menjalani ibadah puasa Ramadhan.

Sedikit yang sadar jika masih ada pelaku ibadah pua sa yang menelan ke kalahan meski merasa menang. Sabda Rasulullah SAW, "Berapa banyak orang yang berpuasa ti dak mendapatkan apa-apa da ri puasanya kecuali lapar dan haus ...?" (HR at-Tha brany).

Syekh Jamaluddin al-Qasimi dalam Saripati Ihya Ulumuddin mengungkapkan tentang enam syarat b a tiniah dan rahasia puasa. Pertama, yakni menahan dan menutup pandangan bagi yang dicela dan dimakruhkan. Kedua, menjaga lidah dari ghibah, nami mah, perkataan kotor, cacimaki, dan ucapan riya. Berikutnya, menahan pendengaran dari segala sesuatu yang buruk. Segala se suatu yang haram diucapkan haram pula didengarkan. "(Mereka itu ada lah) orang-orang yang su ka mendengarkan berita bo hong dan suka memakan ba rang haram." (QS al-Maidah: 42).

Keempat, menahan tangan dan kaki dari segala sesuatu yang dimak ruhkan serta me nahan perut dari segala se suatu yang syubhat—apalagi haram—ketika berbuka. Ke lima, tidak berlebihan mema kan makanan halal ketika ber buka hingga perutnya terisi penuh.

Menurut Syekh Jamaluddin, ruh puasa dan raha sianya ada lah me le mahkan ke kuatan yang menjadi ja lan setan dalam mengajak pada keburukan. Tidak terkecuali saat berbuka. Upaya melemahkan setan tidak akan terjadi kecuali dengan menyedi lkitkan makanan.

Terakhir, hatinya berbolakbalik antara rasa takut dan harap setelah ber buka. Dia tidak tahu apakah pua sa nya diterima atau orang-orang yang ditolak. Hendaklah pela ku pua sa me rasakan itu hingga akhir ibadah yang dilakukan. Mungkin kita patuh mena han lapar dahaga dan tidak berhu bung an intim ketika puasa. Namun, ketika perilaku kita masih melanggar itu, nilai puasa kita pun berkurang.

sumber : Dialog Jumat Republika
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement