Jumat 22 Mar 2019 14:30 WIB

Sumbangsih Para Perempuan Cendekia

Para perempuan cindekia ini menunjukkan kecemerlangan pemikiran.

 Ilustrasi Muslimah
Foto: Pixabay
Ilustrasi Muslimah

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Panggung peradaban Islam, tak didominasi laki-laki. Perempuan, muncul pula memberikan kontribusi. Mereka, menunjukkan kecemerlangan pemikirannya dalam beragam bidang. Hal ini, telah bermula sejak zaman Nabi Muhammad dan para sahabatnya saat merintis suatu masyarakat berperadaban.

Salim T S Al Hassani, profesor emiritus di University of Manchester, Inggris, dalam tulisannya, ''Women's Contribution to Classical Islamic Civilisation: Science, Medicine and Politics'', menyatakan, selain dalam bidang agama mereka juga berkiprah di bidang ilmu pengetahuan.

Baca Juga

Sejumlah perempuan memiliki kemampuan dalam bidang medis. Kemunculan mereka terkadang dipicu oleh suatu peristiwa peperangan yang tak terelakkan. Di antara mereka ada Rufayda Al Aslamiyyah, yang mengawali kariernya merawat para tentara terluka. Ada pula nama-nama lainnya, yang menguasai matematika.

Rufayda al-Aslamiyyah

Perempuan ini sering pula dipanggil dengan nama Rufayda binti Sa'ad. Ia dianggap sebagai perawat pertama dalam lintasan sejarah Islam, yang hidup pada zaman Nabi Muhammad. Dalam Perang Badar pada 13 Maret 624 Hijriah, ia bertugas merawat mereka yang terluka dan mengurus personel yang meninggal dunia.

Rufayda belajar pengetahuan medis dari ayahnya, Saad Al Aslamy, yang juga seorang dokter. Ia sering membantu ayahnya mengobati pasien. Pada akhirnya, ia sarat pengalaman dan mengabdikan diri dalam bidang yang dikuasainya. Ia mewujud menjadi seseorang yang andal dalam bidangnya.

Dalam praktiknya, ia sering mempraktikkan keahliannya di rumah sakit lapangan berbentuk sebuah tenda. Saat itu, Nabi Muhammad memerintahkan untuk membawa anggota pasukan yang terluka ke rumah sakit lapangan tersebut. Selain kepandaian dalam bidang medis, Rufayda dikenal sebagai sosok yang empatik.

Tak hanya itu, Rufayda merupakan seorang organisatoris yang baik pula. Ia aktif mengajarkan keahliannya kepada perempuan lainnya dan menjadi seorang pekerja sosial. Biasanya, ia membantu memecahkan masalah-masalah sosial yang terkait dengan penyakit. Membantu merawat anak yatim, cacat, dan miskin.

Lalu, muncul pula nama lain, Al-Shifa binti Abduallah al Qurashiyah al-'Adawiyah. Nama lain yang lekat pada dirinya adalah Laila. Kepiawaianya dalam bidang medis ditopang oleh kemampuannya dalam membaca. Sebab, saat itu banyak orang buta huruf dan tentu tak bisa mengakses pengetahuan.

Layaknya Rufayda, Al Shifa tak pelit dengan ilmu yang dimilikinya. Ia menebar ilmu medis yang ia kuasainya, meski dalam hal yang sangat sederhana. Misalnya, pengobatan terhadap gigitan semut. Kemudian, Rasulullah SAW memintanya untuk mengajarkan hal itu kepada perempuan lainnya.

Al Shifa pun multitalenta. Ia tak hanya dominan pada bidang medis. Namun, ia pun sangat terampil dalam administrasi publik dan dikenal dengan kebijaksanaannya. Nusayba binti Harith Al Ansari hadir sebagai sosok lain. Ia merawat para prajurit terluka. Ia juga seorang tabib khitan.

Masa pun berjalan. Pada abad ke-15, seorang ahli bedah dari Turki, Serefeddin Sabuncuoglu (1385-1468), penulis karya tentang bedah, Cerrahiyyetu'l-Haniyye, tak ragu menggambarkan secara terinci mengenai prosedur gineologi atau menggambarkan perawatan terhadap pasien perempuan.

Bukan hanya menggambarkan namun Sabuncuoglu pun bekerja dengan para ahli bedah perempuan. Pada saat itu, dikabarkan rekan-rekannya di dunia Barat, malah menentang bekerja sama dengan para perempuan. Bahkan, dalam bukunya, ia menggambarkan bagaimana para ahli bedah perempuan menjalankan pekerjaannya.

sumber : Mozaik Republika
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement