Rabu 27 Feb 2019 19:58 WIB

Ketika Penguasa Muslim Mencintai Pustaka

Dinasti Abbasiyah begitu mencintai pustaka dan ilmu pengetahuan.

Kejayaan Abbasiyah di Baghdad.
Foto: republika
Kejayaan Abbasiyah di Baghdad.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Buku Medieval Islamic Civilization: An Encyclopedia (2006) mengutip pendapat tokoh dari abad ke-15, Al-Qalqashandi. Menurut sekretaris kesultanan Mamluk itu, ada tiga unit perpustakaan yang terkemuka dalam sejarah peradaban Islam era klasik.

Salah satunya adalah Bayt al-Hikmah di Baghdad. Sejak dibentuk pada 762, Kota Baghdad memang menampilkan wajah cemerlang Dinasti Abbasiyah. Sejarah menyaksikan kerajaan tersebut berhasil mengubah Baghdad, dari yang semula daerah periferi menjadi kota kosmopolitan.

Baghdad juga unggul secara demografis. Di sanalah keberagaman budaya dirayakan di bawah kedaulatan islami. Penduduknya terdiri atas orang-orang Aramaik, Persia, Arab, serta pelbagai umat beragama, baik Muslim maupun non-Muslim. Semuanya hidup berdampingan secara damai dan adil.

Karakteristik multikultural juga dijumpai dalam bidang pendidikan--dan inilah "pintu masuk" menuju kejayaan perpustakaan. Sultan Harun al-Rasyid (wafat 809) merintis perpustakaan besar yang dinamakannya Bayt al-Hikmah (‘Rumah Kebijaksanaan’).

Sepeninggalannya, lembaga ini kian berkualitas di bawah kendali anaknya, Sultan al-Ma’mun. Bayt al-Hikmah terus berkembang menjadi pusat koleksi pelbagai pustaka dari penjuru dunia, serta penerjemahan teks-teks pengetahuan ke dalam bahasa Arab.

Sesungguhnya, kebiasaan para penguasa Muslim untuk menggemari pustaka sudah lama bermula.

Pada zaman Dinasti Umayyah, Khalifah Muawiyah I telah mendirikan lembaga yang bernama Bayt al-Hikmah di Damaskus, Suriah. Pelbagai naskah berbahasa Yunani, Latin, dan Persia dikumpulkannya untuk kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Arab, dengan bantuan para sarjana Muslim dan non-Muslim yang digaji negara. Pada era ini pula, teknologi pembuatan kertas yang ditemukan orang-orang Cina mulai diadopsi.

Dengan mengerutnya pengaruh Wangsa Umayyah di Asia, Dinasti Abbasiyah melanjutkan peran peradaban Islam yang kali ini berlokasi di Bayt al-Hikmah Baghdad, bukan Damaskus. Hal ini didukung kecintaan para sultannya terhadap ilmu pengetahuan.

Mereka mengumpulkan begitu banyak naskah berbahasa Yunani, Cina, Sanskerta, Persia, dan lain-lain untuk kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Arab. Pada awalnya, naskah-naskah yang dialihbahasakan sebatas tentang tema-tema kedokteran, matematika, dan astronomi. Akan tetapi, belakangan pelbagai bidang keilmuan lainnya turut diseriusi.

sumber : Islam Digest Republika
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement