Karena beberapa hal, KH Noer Ali mundur dari dunia politik nasional. Dia ingin konsen seutuhnya ke dunia pendidikan agama.
Keputusannya ini tentu saja menuai rasa gembira dari para santrinya, baik di kalangan senior maupun junior. Sang kiai mulai memperluas jangkauan lembaga yang diampunya.
Pada 1962, Kiai Noer Ali mendirikan sejumlah sekolah setingkat SMP dan SMA di bawah naungan Yayasan at-Taqwa. Dua tahun kemudian, berdirilah madrasah yang khusus Muslimah.
Walau mundur dari dunia politik, nama KH Noer Ali tetap saja masuk dalam pusaran prahara menjelang G-30-S. Pada 1963, ulama sepuh itu hampir ditangkap lantaran dituding mendukung DI/TII. Bahkan, Pesantren at-Taqwa sempat dikepung sejumlah aparat.
KH Noer Ali tidak takut sedikit pun. “Sekarang kita geledah kampung ini. Kalau terdapat anggota DI, tembak saya. Tapi kalau enggak dapat, ente yang ana tembak,” tegas Kiai Noer Ali kepada sejumlah petugas yang hendak memeriksa pesantrennya. Kontan saja, mereka surut ke belakang.
Di era Orde Baru, KH Noer Alie semakin fokus pada pendidikan agama di Indonesia. Pada Maret 1972, dia ikut dalam Badan Kerja Sama Pondok Pesantren (BKSPP) Jawa Barat. Akhirnya, dia didaulat menjadi ketua umum badan tersebut.
Semangatnya membela Islam tidak pernah padam. Terbukti, pada era Orde Baru. Masa 1980-an, misalnya, mulai muncul larangan jilbab di sekolah-sekolah. KH Noer Ali pun mengusung fatwa tentang busana Muslimah, yang intinya menolak pelarangan jilbab.
Kasus lain lalu muncul, yakni prokontra RUU Perkawinan pada 1973. Untuk mengawal rencana legislasi itu, KH Noer Ali mengerahkan tidak kurang dari seribu ulama dari Pesantren Asy-Syafi’iyah, Jatiwaringin.
Mereka diimbaunya untuk bersumpah memperjuangkan jalannya RUU itu agar selaras dengan kaidah Islam. Perjuangan sang kiai juga tampak jelas dalam upaya menentang perjudian, semisal SDSB.