Kamis 06 Dec 2018 06:06 WIB

Lebih Dekat dengan 'Tangan' Sayyidina Ali

Dia tumbuh dan dibesarkan di bawah bimbingan sang ayah.

Takwa (ilustrasi).
Foto: blog.science.gc.ca
Takwa (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Suatu hari, Ali bin Abi Thalib duduk bersama Rasulullah dan meminta izin untuk menamai anaknya seperti sang Nabi. "Wahai Rasulullah, seandainya saya punya anak lagi setelah engkau tiada, bolehkah saya memberi nama anakku dengan namamu dan memberikan julukan Abu al-Qasim kepadanya?

Rasulullah pun mengiyakan permintaan Ali bin Abi Thalib. Setelah beberapa lama kemudian Rasul wafat. Beberapa bulan kemudian, Fatimah menyusulnya.

Setelah itu, Ali bin Abi Thalib menikah lagi dengan seorang wanita dari Bani Hanifah, Khaulah binti Ja'far bin Qais al-Hanafiyyah. Cinta keduanya melahirkan Muhammad bin al-Hanafiyah. Panggilan itu membedakan dirinya dengan kedua saudaranya Hasan dan Husein.

Dia tumbuh dan dibesarkan di bawah bimbingan sang ayah. Dia juga mewarisi ketekunan ibadah, sifat zuhud, keberanian, dan kekuatannya serta kefasihan lidah sang khalifah. Bahkan sang ayah mendidiknya dalam peperangan. Bebannya dalam peperangan pun lebih berat dibandingkan kedua sau daranya, sehingga semangatnya tidak pernah malas atau melemah.

Muhammad bin Ali bin Abi Thalib pernah ditanya, "Mengapa Anda selalu diterjunkan di medan perang berbahaya dan memikul beban melebihi kedua kakakmu, Hasan dan Husein?"

Muhammad al-Hanafiyah menjawab karena kedua kakaknya ibarat kedua mata ayahnya. Sedangkan dia seperti ke dua tangan Ali. Ali menjaga pandangan dengan `tangannya'.

Muhammad al-Hanafiyah berjanji tak akan melukai sesama Muslim. Ketika Perang Shiffin terjadi antara kelompok Ali bin Abi Thalib dengan kelompok Mu'awiyah bin Abi Sufyan, Muhammad memegang panji-panji ayahnya.

Tatkala perang berkobar, korban berjatuhan dari kedua pihak. Terjadilah suatu peristiwa yang kemudian diriwayatkan sendiri olehnya. Dia menuturkan kejadiannya, ketika berada di Shiffin saudara seiman bertempur. Mereka saling bunuh. Mereka menduga tidak akan ada lagi yang tersisa.

"Aku menjadi sedih dan gelisah karenanya. Tiba-tiba aku mendengar suara teriakan dari belakang ku: Wahai saudara-saudara Muslimin... ingat Allah... Allah... Wahai saudara-saudara Muslimin.. Allah... Allah, sisakan orang-orang kalian, wahai saudara-saudara Muslimin..!

Seketika itu Muhammad tersadar dan berjanji tidak akan mengangkat dan menghunus senjata lagi melawan seorang Muslim pun sejak hari itu. Pasca wafatnya Ali, khilafah pun jatuh ke tangan Mu'awiyah bin Abi Sufyan. Anak Abu Sofyan itu meminta Muhammad al-Hanafiyah agar sering-sering mengunjunginya.

sumber : Islam Digest Republika
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement