Kamis 01 Nov 2018 16:01 WIB

Mengenal Kebijakan Kekhalifahan di Perbatasan

Pemerintah membangun sejumlah sarana di kawasan-kawasan terluar sebagai penanda.

Rep: Yusuf Ashiddiq/ Red: Agung Sasongko
Peta kekuasaan Daulah Abbasiyah.
Foto: wordpress.com
Peta kekuasaan Daulah Abbasiyah.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Begitu banyak ilmuwan Muslim yang menaruh perhatian soal tapal batas Kekhalifahan. Yaqut al- Hamawi misalnya, ia menulis ensiklopedi geografi dari abad ke-13 Masehi.

Ia berkontribusi penting dalam kajian ini melalui karyanya Mu’jam al-Buldan. Tokoh ini berbicara tentang tatanan pembagian wilayah dan cara praktis untuk memperbarui letak wilayah tersebut.

Menurut Philip K Hitti, karya-karya ahli geografi Muslim telah mencakup tapal batas wilayah di Timur Jauh, Afrika Timur, Sudan hingga daerah padang pasir di kawasan Rusia. Mereka berhasil membuat kartografi yang akurat.

Terutama dalam bentuk peta dan uraian geografi yang menetapkan suatu negeri sebagai sebuah unit, jelasnya dalam buku History of the Arabs. Hasil pemikiran mereka dijadikan acuan oleh para penguasa untuk menentukan batas wilayah.

Begitu batas wilayah ditentukan, kata Ralph Brauer, pemerintah membangun sejumlah sarana di kawasan-kawasan terluar sebagai penanda wilayah kekhalifahan. Sarana itu antara lain kantor bea cukai, pos jaga, gerbang, dan benteng.

Brauer mencontohkan keberadaan kantor bea cukai yang terdapat di Aleppo utara Suriah pada era kekuasaan Dinasti Mamluk. Tugasnya kantor itu adalah memeriksa dokumen milik kabilah dagang yang datang dari seluruh penjuru negeri.

Tugas lainnya adalah menarik pungutan atau yang disebut dengan mukus. Bea cukai di Aleppo ditempatkan di jalur-jalur perbatasan yang terhubung antara Suriah, Asia Jauh, Diar Bakr, Mesir, Irak, dan Persia.

Baca: Tapal Batas di Masa Kekhalifahan

Sementara itu, kantor bea cukai di Barqa (Libya) berada di Ifriqiya-Ajdabia dan di Yaman berpusat di wilayah Khamdan. Adapun di Mesir lokasinya di Asuan, Ikhmim, dan Qatia. Bea cukai juga ditempatkan di wilayah pelabuhan terluar. Sejarawan Muslim Ibnu Jubair melukiskan Pelabuhan Tripoli, kini wilayah Libya dan Alexandria, Mesir, sangat ramai dikunjungi pedagang dan pendatang asing.

Para petugas memerika kelengkapan dokumen pedagang dan pendatang itu. Khusus bagi pedagang, dikenakan pungutan sebesar 20 persen dari total nilai barang dagangan mereka.

Ilmuwan dan penjelajah Muslim abad ke-11, Nasir Khusrau, mengungkapkan bahwa dia dibebaskan dari pemeriksaan di Pelabuhan Jidda. Sebab, ia menjadi tamu gubernur setempat. Ia menambahkan, pungutan tak dibebankan kepada para jamaah haji.

Bangunan benteng sebagai penanda wilayah memang banyak didirikan. Seperti yang berada di kawasan pegunungan selatan Lebanon, di Balis yang terletak 35 km dari Malatiya, juga di Tarsus.

Biasanya, benteng-benteng semacam itu turut dilengkapi pos pemeriksaan dan kantor bea cukai. Keradaan benteng pertahanan terutama dimaksudkan untuk menangkal serangan dari luar dan menjamin keamanan dan stabilitas di kawasan-kawasan terluar.

Langkah lainnya adalah membina hubungan diplomatik dengan negara lain. Hal ini terwujud melalui korespondensi, pertukaran duta, maupun hadiah. Philip Hitti mencatat, kerja sama semacam ini pernah terjadi antara Khalifah Harun al-Rasyid dan Charlemagne dari Barat pada abad ke-9.

Kerja sama serupa berlangsung dengan penguasa di India sehingga stabilitas di perbatasan terus terjaga. Namun, bukan berarti tak ada gejolak. Konflik kerap terjadi di kawasan yang berbatasan dengan Bizantium.

Masalah itu telah berlangsung sejak abad ke-8. Perbatasan wilayah Islam yang membentang dari Suriah ke Armenia semakin menyusut oleh ekspansi Bizantium. Khalifah dari Abbasiyah, al-Mahdi, mengumandangkan jihad mengatasi hal itu. Kemudian, Khalifah Harun al-Rasyid berhasil mencapai kemenangan gemilang di wilayah Bosporus.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement