Senin 30 Jan 2017 04:23 WIB

Bakhtiar, Al-Ghazali, Kocek: Ketika Persia Disangka Arab?

Santri di Jawa.
Foto: foto koleksi Abdul Hadi WM
Santri di Jawa.

Oleh: Prof DR Abdul Hadi WM*

Saya punya kawan dan kenal sejumlah orang bernama Bahtiar/Bakhtiar/Bachtiar. Di antaranya Prof Harsja Bachtiar, dosen anthropologi UI yang pernah menjabat sebagai kepala konsorsium kurikulum di Kementrian P dan K dulu.

Kemudian Bachtiar Aly, kawan saya di Universitas Pajajaran yang kini jadi guru besar ilmu politik di UI. Mantan Dubes RI untuk Mesir itu sekarang bergabung dengan Surya Paloh dalam Partai Nasdem. Dia berasal dari Aceh, tetapi tidak lebih islami dari saya.

Kemudian Bachtiar Chamsyah, mantan petinggi PPP. Lantas Bahtiar Effendy, guru besar ilmu politik di UIN Sunan Kalijaga. Saya akrab dengannya gara-gara diminta mengajar di Program Pasca-Sarjana Universitas Muhammadiyah. Waktu itu dia menjadi salah seorang ketuanya, menggantikan Dien Syamsudin.

Seorang lagi yang saya kenal akrab adalah Buya Bachtiar, mantan Ketua DPW Muhammadiyah Sumatra Utara. Dia saya kenal karena kami bersama-sama Buya Syafii Maarif dan lain-lain diundang ke Tripoli oleh pemimpin Libya Qadafi pada tahun 1998. Dan banyak lagi yang tak bisa saya sebutkan di sini. Namun pada umumnya mereka berasal dari Sumatra.

Dulu saya menyangka bahwa nama Bahtiar itu nama Arab sebagaimana nama Iskandar, dan lain-lain. Ternyata nama-nama itu adalah nama Persia. Nama Bahtiar menjadi terkenal setelah populernya sebuah hikayat berbingkai dalam bahasa Melayu yang disadur dari sastra Persia yaitu "Hikayat Bakhtiar".

Nma Bakhtiar dalam hikayat Persia mungkin bisa dilacak pada epik Shahnamah karangan Ferdawsi, penyair Persia abad ke-10-11 M. Nama PM Iran pada saat runtuhnya Shah Iran ialah Shapour Bkhtiar.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement