Kamis 15 Nov 2018 07:07 WIB

Murtad, Mereka yang Pindah Agama Apakah Harus Dihukum Mati?

Islam menjamin kebebasan beragama dan menjalankan keyakinan.

Muslim (ilustrasi)
Foto: Republika/Putra M. Akbar
Muslim (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, Pertanyaan ini tak hanya menjadi tanda tanya besar di sebagian Muslim di Indonesia, tetapi juga banyak kalangan di Timur Tengah. Bagaimana selanjutnya pandangan Lembaga Fatwa Mesir, Dar al-Ifta?

Menurut Lembaga ini, bagi mereka yang setuju, orang murtad harus dibunuh begitu saja, mengira bahwa Islam memaksa manusia hingga mereka mengikuti agama ini, dan lupa tentang undang-undang negara yang menjamin kebebasan menjalankan keyakinan sebagai implementasi dari surah al-Baqarah ayat ke-256.

Dalam pandangan Dar al-Ifta, persoalan ini bisa ditarik dalam dua sudut yang pertama, teks agama yang menghalalkan darah Muslim jika mereka berpindah agama dan meninggalkan jamaah. Kedua, praktik dan implementasi hukumnya, serta metode berinteraksi dengan kasus murtad, pada masa Nabi, termasuk juga para khalifah. 

Menurut Lembaga ini, selama masa Rasulullah SAW, beliau tidak pernah membunuh satu murtad pun atau mereka yang terindikasi munafik. Ini antara lain, Abdullah bin Ubai dan Dzu al-Khuwaishirah at-Tamimi. Aksi yang mereka lakukan terhadap Rasulullah, tentu sudah bisa dikategorikan murtad karena mereka merendahkan Rasul dengan menuduh beliau pembohong, tidak amanah, dan zalim. 

Kebijaksanaan Rasul untuk tidak menghukum mereka dengan hukuman mati, tentu berefek pada maslahat yang besar, bahkan meski Rasul sudah meninggal, yaitu, masyarakat tidak ketakutan dengan dakwah Islam.

Bagaimana reaksi mereka jika mendengar Rasul membunuh sahabatnya. Penegasan inilah yang juga disampaikan Rasulullah kepada Umar. “Apa kata orang jika Muhammad membunuh sahabatnya,” titah Rasul. 

Bahkan, meski Rasul telah mendapatkan izin memberlakukan sanksi terhadap munafik pun, tidak ada satu pun langkah yang beliau tempuh. “Sesungguhnya jika tidak berhenti orang-orang munafik, orang- orang yang berpenyakit dalam hatinya dan orang-orang yang menyebarkan kabar bohong di Madinah (dari menyakitimu), niscaya Kami perintahkan kamu (untuk memerangi) mereka, kemudian mereka tidak menjadi tetanggamu (di Madinah) melainkan dalam waktu yang sebentar, . dalam keadaan terlaknat. Di mana saja mereka dijumpai, mereka ditangkap dan dibunuh dengan sehebat-hebatnya.” (QS al-Ahzab: 60-61).

Bagaimana dengan praktik yang dijalankan pada masa khalifah? Menurut lembaga ini, pada masa Umar bin Khatab terutama, ada penegasan yang cukup gamblang. Ketika itu, Anas bin Malik, kembali dari perang Tustar lalu menghadap Umar. Sang Khalifah itu pun menanyakan kabar enam pemuka Arab antara lain Bakar bin Wail yang menyatakan murtad dan bergabung dengan barisan orang musyrik. 

Tak ingin menjawab pertanyaan ini, Anas pun mengalihkan pembicaraan, sampai Umar harus menanyakannya tiga kali. Anas pun tak kuasa menolah dan akhirnya berkata,”Waha pemimpin umat Mukmin, mereka terbunuh dalam perang.”

Bagaimana respons Umar? Sungguh mengagetkan. Justru Umar bersedih dan mengatakan,”Inna lillahi wa inna ilaihi rajiun.” Anas menyanggah,”Bukankan itu adalah hukuman setimpal bagi mereka yaitu dibunuh?” Lalu Umar menjawab,”Jika aku di posisi kalin, aku akan ajak mereka kembali ke Islam dan bila menolak, aku cukup memenjarakan mereka.” Lihatlah, bagaimana Umar tidak langsung membunuh para murtad, sekali pun mereka memerangi umat Islam. 

Mengutip pendapat grand Syekh al-Azhar, Mahmud Syaltut, bahwa pembunuhan murtad bukan termasuk had, apalagi jika merujuk pendapat ulama bahwa penentua had itu tak bisa dilakukan dengan hadis yang berstatus ahad. Kekufuran sendiri bukan alasan untuk menghalalkan darah, yang jadi alasan adalah memerangi dan memusuhi umat Islam, dan banyak teks Alquran yang menentang pemaksaan dalam agama.

Pendapat ini juga pernah disampikan Ibnu Taimiyah. Dia berpendapat, Rasul menerima taubatnya orang murtad dan memerintahkan membunuh lainnya karena perkara lain di luar keluar agama yaitu membahayakan dan membunuh orang Islam. Ini seperti perintah eksekusi Maqis bin Hubabah pada saat penaklukkan Makkah.

Ini karena aksinya yang membunuh Muslim dan merampas harta, sementara dia menolah bertaubat, meski mampu. Demikian juga alasan eksekusi Ibnu Khathal dan Ibn Abi as-Sarh. Berdasarkan deretan argumentasi itulah, Dar al-Ifta Mesir menegaskan bahwa membunuh murtad tak sesuai dengan koneks masa kini dengan beragam pranata hukum yang berlaku saat ini.  

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

   

 

 

 

  

 

 

  

 

 

   

 

 

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement