Selasa 14 Aug 2018 20:01 WIB

Membatalkan Shalat karena Gempa, Bolehkah?

Jika bencana tersebut besar dan serius, tidak mengapa untuk membatalkan shalat.

Gempa. Ilustrasi
Foto: Reuters
Gempa. Ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA --  Gempa Lombok berkekuatan 7,0 SR terasa hingga Bali. Getarannya juga sampai di Mushola As Syuhada Blk, Denpasar. Gempa yang memakan korban lebih dari 300 jiwa itu menggoyang jamaah yang sedang menunaikan shalat. Hanya, imam shalat rawatib tersebut tampak khusyuk melantunkan ayat-ayat suci Alquran.

Dia terdengar membacakan QS al-Baqarah ayat 186. Dengan badan terhuyung, imam itu tampak memegang tembok supaya tidak jatuh. Sementara, ada beberapa makmum yang menghentikan shalat dan keluar dari mushala.

Video tersebut viral bahkan diberitakan media-media internasional. Pertanyaannya adalah apa hukumnya menghentikan shalat dalam keadaan darurat seperti gempa? Hukum dasar shalat adalah wajib.Shalat merupakan tiang agama sehingga agama tidak dapat berdiri tegak tanpanya.

Allah SWT pun secara khusus memuji orang-orang beriman yang khusyuk dalam shalat. Sesungguhnya beruntunglah orang- orang beriman, (yaitu) orang- orang yang khusyuk dalam shalatnya, (QS al-Mukminun ayat 1-2).

Dalam Ensiklopedia Shalat, Dr Said bin Ali bin Wahf al Qahthani menjelaskan, sebagian besar ulama menjelaskan, hukum meninggalkan shalat disebut kufur.Terlebih, meninggalkan shalat sembari mengingkari hukum wajibnya.Orang-orang yang meninggalkan shalat termasuk berbuat dosa dan diancam masuk ke dalam Neraka Saqr.

Sesungguhnya orang-orang yang berdosa berada dalam kesesatan (di dunia)dan dalam neraka.(Ingatlah) pada hari mereka diseret ke neraka atas muka mereka.(Dikatakan ke pada mereka): `Rasakanlah sentuhan api neraka.(QS al-Qamar:48).

Bagaimana jika sengaja membatalkan shalat? Dalam fatwanya, ulama kenamaan Arab Saudi Syekh Abdullah Ibnu Humayd menjelaskan, jika bencana tersebut besar dan serius, tidak mengapa untuk membatalkan shalat.Namun, jika bencana itu tampak tidak serius dan bisa ditangani setelah menyelesaikan shalat, tidak diperkenankan untuk membatalkannya.

Para ulama mengungkapkan, wajib menghentikan shalat untuk menyelamatkan seseorang dari kecelakaan fatal.Sebagai contoh, jika sedang shalat dan melihat seekor ular mendekati seseorang yang sedang duduk dan tidak menyadarinya Jika ular tersebut sedang mendekatinya, Anda harus menghentikan shalat dan memberitahu dia agar tidak digigit.

Contoh lainnya adalah jika Anda melihat seorang tunanetra berjalan di depan Anda sementara Anda sedang shalat.Dia berjalan lurus sementara Anda takut jika dia terjatuh.Anda pun harus menghentikan shalat Anda dan menyelamatkan dia dari kecelakaan karena khawatir jatuh ke lubang, meski shalat Anda harus batal.Ini juga berlaku ketika kebakaran dan sebagainya.

Namun, dia berpendapat jika tanda bahaya itu kemungkinan hanya menyebabkan akibat tidak serius dan bisa ditangani usai melaksanakan shalat, tidak diperkenankan untuk menghentikan shalat sebelum menyelesaikannya.

Dilansir dari Pustaka Ilmu Sunni Salafiyah (PISS)-KTB, Ustaz Masaji Antoro mengungkapkan, menghentikan shalat ketika sudah masuk di dalamnya tanpa adanya musawwigh (diperbolehkan secara syar'i) tidak boleh.

Para ulama fikih berpendapat memutus ibadah wajib tanpa alasan bisa dimaknai memper- mainkan kemuliaan suatu ibadah. Dalam QS Muhammad ayat 33 pun disebutkan, Dan janganlah kalian membatalkan amal-amal kalian.

Hanya, ada kalanya manusia berada dalam kondisi yang disertai dengan musawwigh (diper- bolehkan secara syar'i).Karena itu, para ulama berpendapat, boleh memutus shalat sebab hendak membunuh ular karena memang ada perintah membunuhnya.

Alasan lainnya, yakni menyelamatkan harta benda yang bernilai baik miliknya sendiri atau orang lain, menolong orang yang shalat sebab hendak mengadu minta bantuan, memperingatkan orang yang tidur dan hendak dicelakai semacam ular sehingga tidak memungkinkan hanya diingatkan oleh bacaan tasbih.

Penghentian shalat ini sebagaimana kita dibolehkan untuk memutus ibadah puasa demi menyelamatkan orang tenggelam, mengkhawatirkan keselamatan diri atau karena sedang menyusui.

Sekjen PB Al Washliyah KH Masykhuril Kamis menjelaskan, pada prinsipnya, membatalkan shalat itu tidak boleh kecuali pada hal-hal yang darurat, termasuk gempa.Dia pun menukil kisah pada zaman Umar bin Khattab, ketika ada yang mau berangkat ke negeri Syam terjadi wabah.

Umar saat itu membatalkan perjalanan itu. Dia kemudian dikritik oleh para sahabat karena di tuding menentang takdir.Umar lantas menjelaskan, dia meninggalkan satu takdir kepada takdir yang lebih baik.

Kiai Masykhuril Kamis bersandar pada dalil dalam Alquran. Dan belanjakanlah (harta bendamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan dan berbuat baiklah karena sesungguhnya Allah menyukai orang- orang yang berbuat baik.(QS al- Baqarah ayat 195).

Meski demikian, Kiai Maskhuril Kamis tidak menyalahkan imam yang bertahan dengan shalatnya.Menurut dia, apa yang di tunjukkan imam tersebut sungguh memperlihatkan kualitas keimanan yang tinggi.Kekhusyukan sang imam mengingatkan tentang kisah tentang Abbad bin Bashir yang diminta Rasulullah SAW untuk menjaga kawanan unta kaum Muslimin di lembah Madinah.

Saat giliran berjaga, Abbad melaksanakan shalat. Di tengah shalatnya, sebuah anak panah menancap di pangkal lengannya.Dia pun mencabut anak panah itu dan melanjutkan shalatnya. Tiga kali terkena panah, tiga kali pula Abbad mencabutnya dan melanjutkan shalatnya hingga selesai.

Kiai Maskhuril pun berpendapat, baik imam maupun makmum tidak salah. Imam bertahan dengan shalat karena kekhusyukannya. Sementara, makmum meninggalkan shalat karena takut akan ada musibah yang lebih besar jika meneruskan shalatnya di tengah gempa. Wallahualam.

sumber : Dialog Jumat Republika
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement