Jumat 04 Mar 2011 20:50 WIB

Satu Kisah 'Miring' tentang Jilbab dari Amerika Serikat

Muslim berjilbab di Amerika Serikat (Ilustrasi)
Foto: CORBIS
Muslim berjilbab di Amerika Serikat (Ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, SAN FRANSISCO - Terakhir kali wanita ini dipanggil teroris, ia tengah menikmati kopi di gelas kertas dan menunggu kereta di Stasiun Powell Street BART di San Francisco. Saat itu jam sibuk dan puluhan penumpang kereta komuter pagi berdiri di dekat lulusan SMA berdarah Yemen itu.

Ia membeku ketakutan ketika seorang pria berusia lebih tua, dalam setelan lengkap berdasi berteriak kepadanya karena mengenakan jilbab dan minum kopi. "Mengapa kamu minum ini? Ini bukan budayamu," kenang wanita yang ditulis kisahnya 2 Maret lalu oleh situs berita online Mother Jones dengan nama Eman itu.

"Makan dan minum makanan aslimu jika kamu mau pakai kerudung," teriak laki-laki itu lagi memparah hinaan anti-Islamnya hingga kereta akhirnya tiba. Tidak ada seorang pun di dekatnya yang menegur si pria. Satu orang bahkan tersenyum menyaksikan itu.

Benarkah orang-orang di sekitar tak mendengar itu? Eman yakin mereka mendengarnya. "Saat pria itu berteriak, hampir semua orang melihat ke arah saya,". Apakah hal itu pernah terjadi di sekolah? Ia menjawab tidak. Peristiwa penghinan itu terjadi bertahun-tahun lalu ketika ia baru saja lulus SMA.

Dalam kesempatan terpisah, Mother Jones menulis tentang keprihatian guru-guru di SMA Mission High terhadap jilbab dan sikap tak toleran warga Amerika yang kian meningkat. Dalam sebuah kelas, seorang guru bernama Amadis Velez, memutar video berupa tayangan segmen berita ABC untuk muridnya.

Tayangan berita pendek berjudul "Witness to Discrimination: What Would You Do?" (Menyaksikan Diskriminasi: Apa yang akan Anda Lakukan?" adalah hasil produksi kru ABC yang meminta dua pemeran dengan kamera tersembunyi untuk beraksi di toko roti dekat Waco, Texas. Satu orang, Sabina, mengenakan jilbab memerankan pembeli. Satu lagi bermain sebagai penjual yang menolak melayani Sabina dan meneriakkan ejekan anti-Musim dan anti-Arab.

Velez menghentikan tayangan DVD di bagian itu. Ia kemudian bertanya kepada siswa, "Apakah para konsumen asli akan ada yang membela Sabina?". Cukup mengejutkan, hanya satu siswa di kelas Velez yang berisi 23 murid imigran mengatakan ya.

Rupanya para siswa itu benar. Tayangan yang dimaksudkan ABC menjadi tes tingkat diskriminasi di AS menunjukkan, lebih dari setengah orang di lokasi tidak melakukan apa pun. Mereka diam ketika diskriminasi terjadi tepat di depan mereka.

Mungkin, masih menurut Mother Jones, itu karena lebih dari 50  persen warga Amerika hanya tahu sedikit atau tidak sama sekali tentang Islam (berdasar hasil studi Pew Center tahun lalu). Mungkin itu disebabkan banyak pejabat tinggi--seperti Ketua Komite Kongres untuk Pertahanan Dalam Negeri, Peter King--yang kerap menyuarakan kebencian tentang Muslim, bahwa mereka bukanlah warga Amerika, bahwa 80 persen masjid di negara dikontrol oleh Imam garis keras.

Padahal, studi mengenai topik imam masjid yang dilakukan oleh peneliti Scott Keyes dari ThinkProgress, menyatakan klaim tadi adalah salah. Namun, tetap saja kisah seperti Eman muncul di permukaan, meski ada pula sedikit titik cerah, yakni laporan kejahatan dengan sasaran Muslim secara nasional berangsur-angsur hilang sejak tragedi WTC menjauh.

Kini Eman diterima San Francisco State University, di mana ia belajar di jurusan keperawatan. Pekan ini ia mengerjakan esai tentang hidup adalah indah untuk aplikasi beasiswa 826 Valencia. Apa yang akan ia tulis untuk esainya? "Ayah saya. Ia meninggal dua tahun lalu," ujarnya seraya menulis.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement