REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA--Ketika Rasulullah melakukan hijrah ke Madinah, masih ada sejumlah sahabat yang tetap bertahan di Makkah. Mereka tak mau meninggalkan Makkah dengan berbagai alasan. Namun, selama bertahan di Makkah, umumnya mereka merasa tertindas sehingga diliputi rasa duka.
Alquran melukiskan mereka sebagai orang-orang yang menganiaya diri sendiri. Ketika mereka wafat dalam kondisi luka karena teraniaya, Malaikat pun bertanya, “Bagaimana keadaan kalian menjadi seperti ini?'' “Kami adalah orang-orang yang tertindas di negeri Makkah,” jawab mereka. Alquran kemudian merekam peringatan Malaikat berikutnya, “Bukankah bumi Allah itu luas, maka berhijrahlah di bumi itu?” (QS Annisa [4]: 97).
Secara historis, ayat tersebut di atas termasuk kategori ayat Madaniyah. Pesan Alquran ini turun kira-kira setelah tatanan masyarakat Madinah tertata rapi, tumbuh penuh harmoni dalam nuansa multikultural sebagai wujud perpaduan kebudayaan antara Anshar dan Muhajirin.
Melalui firman-Nya ini, Allah seakan-akan tengah mengamini tindakan Rasulullah dalam berhijrah, meskipun sempat beberapa kali gagal. Hijrah memang tidak sederhana. Ia tidak hanya melibatkan tindakan fisik, tetapi juga menggambarkan kekuatan psikologis yang mendasari ketulusan berikhtiar untuk mewujudkan kehendak Allah.
Hijrah dilakukan bukan semata-mata untuk memperoleh kesenangan duniawi ataupun kesejahteraan material, melainkan juga kesempurnaan pengabdian untuk mewujudkan tatanan sosial, politik, ekonomi, dan kebudayaan yang lebih mampu menjamin tegaknya hak-hak individu.
Oleh karena itu, hijrah menjadi solusi manusiawi sebagai wujud pengakuan atas segala keterbatasan manusia dalam memperoleh semua haknya sekaligus pernyataan sikap teologis untuk membuktikan segala Kemahamurahan Allah bagi manusia. Bahkan, Allah sendiri menegur dengan tegas orang-orang yang memaksakan kehendaknya untuk tetap bertahan dalam ketidakberdayaan, memaksakan bertahan dalam ketidaknyamanan ataupun ketidaksejahteraan.
Dalam situasi Indonesia yang tengah diliputi berbagai duka saat ini, kita tidak bisa tetap “menikmati” penderitaan hanya karena alasan sabar dan tawakal. Kita juga tidak bisa terus-menerus membiarkan ketidakadilan melilit kehidupan. Saatnya kita berhijrah untuk melakukan perubahan sekaligus mengingatkan siapa pun yang dipandang menjadi sumber kesemrawutan.
Berhijrahlah dengan meminta semua pihak tulus mengakui kekhilafan, mencairkan egoisme politik yang hanya akan menyengsarakan kehidupan, dan membangun komitmen kebangsaan yang lebih jujur serta demokratis dengan melepaskan kepentingan pribadi ataupun golongan.
Alquran mengingatkan, Allah membenci orang-orang yang membiarkan diri bertahan di tengah kesemrawutan sosial, politik, dan ekonomi. “Kecuali mereka, baik laki-laki, perempuan, maunpun anak-anak, yang tertindas karena tidak mampu berdaya upaya dan tidak mengetahui jalan untuk berhijrah.” (QS Annisa [4]: 98).