REPUBLIKA.CO.ID, MAKKAH--Banyak cerita dari Tanah Suci yang bisa dikenang. Tak hanya pengalaman rohani saat menunaikan ibadah haji, tetapi juga soal suka dan duka saat di Tanah Suci. Cerita itu juga milik para difabel yang pada tahun ini berhaji.
Pengalaman berkesan itu dibawa sebagai kenangan, bahkan inspirasi dalam melanjutkan hidup. Betty Hasan-Amin, salah satunya. Ia lumpuh akibat sebuah kecelakaan saat berusia 17 tahun. Dengan ke lumpuhannya itu dan meski harus berjalan dengan kursi roda, tak memadamkan niatannya ke Tanah Suci.
Kondisinya yang lumpuh memang harus membuatnya lebih keras berjuang. Terutama, saat berada di Masjidil Haram. Dengan berkursi roda, ia mencoba masuk ke dalam arus manusia. Ia terombangambing oleh jamaah yang berdesak-desakan. Namun, ia tak mundur. “Saya sudah lumpuh selama puluhan tahun, tetapi saya katakan pada diri saya, jangan biar kan siapa pun merenggut hak saya untuk berhaji,” kata nya seperti dikutip BBC, belum lama ini.
Ia memiliki tekad baja untuk mampu mengelilingi Ka’bah. Karena itu, ia ber prinsip, kalaupun tak dengan kekuatan sendiri, ia bisa mengandalkan bantuan orang lain. Ia akhirnya mengupah enam bersaudara asal Nigeria, mengangkatnya berthawaf atau mengelilingi Ka’bah selama tujuh kali.
“Mulanya takut, tapi akhirnya saya percaya diri.” Karena polio, Faisal Rao juga harus berkursi roda. Ia menghadapi kendala yang sama dengan Betty Hasan Amin saat terpisah dengan rombongan. Yaitu, keru munan jamaah yang sukar ditembus, walaupun biasa nya ada gang di antara jamaah. Ia, memilih cara yang berbeda dengan Betty Hasan-Amin.
Dengan hati-hati, ia turun dari kursi rodanya. Ia merangkak dengan mengandal kan lututnya, menyeret kursi roda di antara kerumunan jamaah. Ia mengaku hal itu merupakan masalah yang besar baginya. “Saya merasa telah melakukan hal besar. Saya bangga telah melakukannya,” kata Rao.
Sana Viner yang tuna netra pun tak surut tekadnya. Sana mengatakan, ia menggunakan tongkat putihnya se ba gai pemandu untuk ber jalan sela ma berhaji. Ini meng untungkan dirinya karena jamaah lain tahu ia tak bisa melihat. Pada saat berthawaf, banyak jamaah yang mencoba memban tunya.
Menurut Viner, semula ia merasa bersedih karena tak bisa melihat Ka’bah. Banyak orang menceritakan keba ha giaan yang membuncah saat pertama kali melihat Ka’bah. Sayang, kata dia, ia tak bisa melakukannya. “Tapi, saya membayangkan dalam be nak bahwa saya bisa meli hat nya. Dan, saya bangga bisa melakukannya,” jelasnya.
Bagi sejumlah mualaf, haji merupakan pengalaman yang sangat berkesan. Hal itu dirasakan oleh Michael Finkenbrink, mualaf asal Jerman. Ia mengatakan, selama berhaji, dia bertemu dengan banyak saudara Muslimnya. Ia juga menegaskan bahwa para jamaah adalah orang-orang yang taat.
Namun, Finken brink juga bersikap kritis terhadap hal-hal yang dianggapnya tak sesuai dengan ajaran Islam. Ia mengeluhkan bau dan tumpukan sampah yang ditinggalkan oleh jamaah haji di sejumlah tempat. “Hal itu tak bisa diterima. Kebersihan merupakan hal yang sangat penting dalam ajaran Islam,” katanya sambil menggeleng-gelengkan kepala.