REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Al-Muraisi adalah nama sungai yang terdapat di daerah Qudaid sampai as-Sahil. Sungai itu berada di kawasan Madinah. Jarak al-Muraisi dengan garis pantai sejauh 80 kilometer. Di daerah inilah tempat terjadinya perang antara kaum Muslim dan Bani Mushtaliq dari Khuzaah sekitar 6 Hijriah.
Sekalipun peperangan ini tidak berjalan lama dan berlarut-larut, tapi buntut dari peperangan ini sempat mengguncang dan meresahkan kaum Muslim. Akar persoalannya berasal dari ulah kelompok kaum munafik.
Peperangan al-Muraisi dimulai saat Rasulullah mendapat informasi bahwa pemimpin Bani al-Mushthaliq, al-Harits bin Abu Dhirar, sedang menghimpun kaumnya untuk memerangi kaum Muslim. Mendapat informasi ini Rasulullah mengutus Buraidah bin al-Hushaib al-Aslamy untuk mengecek kebenaran informasi tersebut.
Setelah Buraidah melakukan pengecekan dan memang al-Harits bin Abu Dhirar sedang berupaya memerangi kaum Muslim, Rasulullah bertindak cepat dengan menghimpun para sahabat dan berangkat menuju al-Muraisi. Dalam pasukan kaum Muslim tersebut, terdapat segolongan orang-orang munafik yang ikut bergabung. Mereka tergiur oleh harta rampasan perang karena dalam perang-perang sebelumnya kaum Muslim selalu memperoleh kemenangan.
Setelah pasukan Rasulullah sampai di Qudaid, Muraisi, mereka bertemu dengan pasukan al-Harits bin Abu Dhirar. Kedua pasukan itu pun saling melepaskan anak panah. Namun, beberapa lama kemudian Rasulullah memerintahkan untuk melancarkan serangan serentak, yang kemudian berhasil menundukkan pasukan al-Harits.
Pasukan musuh cukup banyak yang terbunuh, sementara korban dari kaum Muslim hanya satu orang saja. Di antara tawanan perang tersebut ada seorang wanita bernama Juwairiyah binti al-Harits, anak pemimpin mereka.
Dalam pembagian harta rampasan dan tawanan, Juwairiyah menjadi bagian Tsabit bin Qais. Namun, Tsabit ingin melepaskan dengan uang tebusan sehingga Rasulullah menebusnya lalu dinikahi. Dikarenakan perkawinan Rasulullah dan Juwairiyah ini, orang-orang Muslim membebaskan 100 dari keluarga Bani Mushthaliq yang telah masuk Islam.
Yang luar biasa dari peperangan ini adalah banyaknya fitnah yang dihembuskan kaum musyrikin. Antara lain, mengenai kabar bohong kaum Muhajirin akan menguasai kaum Anshar di tanah Madinah. Isu tersebut sempat menimbulkan ketegangan antara kedua penopang utama pasukan Muslimin.
Peristiwa ini berawal dari peristiwa senggolan antara kaum Anshar, Jahjah Al-Ghifary, orang upahan Umar bin Khatab dan Sinan bin Wabar Al-Juhanny, yang masuk kaum Muhajirin. Peristiwa senggolan di dekat mata air al-Muraisi setelah perang selesai itu berkembang menjadi adu mulut. Sinan berteriak, "Hai orang-orang Anshar…" Jahjah juga berteriak, "Hai orang Muhajirin…"
Kejadian ini didengar seorang dari golongan kaum munafik, Abdullah bin Ubay. Dia kemudian menggunakan kesempatan itu untuk mengadu domba kaum Anshar dan Muhajirin dengan memunculkan kebencian kaum Anshar terhadap Muhajirin.
Hasutan Abdullah bin Ubay ini membuat Umar bin Khattab marah dan mengusulkan pada Rasullullah untuk membunuhnya. Mendapat usul tersebut Rasulullah menjawab, "Bagaimana wahai Umar jika manusia membicarakan bahwa Muhammad telah membunuh rekan-rekannya? Tidak. Tapi, suruhlah pasukan untuk berangkat."
Rasululullah sengaja mengajak pasukannya berjalan agar pasukannya bisa melupakan kejadian itu. Beliau mengajak pasukannya berjalan kaki selama dua hari dua malam hingga pasukannya kelelahan dan mengantuk.
Abdullah bin Ubay sendiri setelah tahu bahwa perbuatannya diketahui Rasulullah buru-buru menemui Rasulullah dan bersumpah tidak lagi berbuat seperti itu. Berkenaan dengan peristiwa ini, Allah menurunkan ayat suci dalam QS Al-Munafikun ayat 1-8.
Seperti diketahui, Abdullah bin Ubay sebelumnya memang sangat mendendam terhadap Islam dan orang-orang Muslim, terlebih terhadap Rasulullah. Dia menganggap Rasulullah telah merampas kekuasaan yang sudah ada di tangannya.
Hal ini karena sebelum Rasulullah hijrah ke Madinah, Aus dan Khazraj sudah sepakat mengangkatnya sebagai pemimpin dan telah membuatkan mahkota bagi dirinya. Sekalipun telah menyatakan masuk Islam setelah perang Badr, tetap saja dia menjadi musuh Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang Mukmin.
Selain peristiwa itu, setelah perang singkat tersebut kaum munafik juga menyebarkan berita bohong mengenai Aisyah RA, istri Rasulullah SAW. Dalam peperangan dengan Bani Mushtaliq ini, Rasulullah memang didampingi oleh beliau.
Dalam perjalanan kembali ke Madinah setelah peperangan, Aisyah merasa kalungnya hilang. Ketika rombongan pasukan Rasulullah berhenti beristirahat, Aisyah keluar dari tandu mencari kalung tersebut. Ketika pasukan Rasulullah kembali bergerak, pengangkat tandu tidak tahu bahwa Aisyah belum kembali ke tandu.
Mengetahui telah tertinggal rombongan, Aisyah duduk di jalan yang menuju Madinah menunggu rombongan itu kembali menjemputnya. Kebetulan, pada saat itu seorang sahabat Nabi, Shafwan Ibnu Mu'aththal, melintas di jalan dan menemukan Aisyah sedang tertidur sendiri. "Inna lillahi wa inna ilaihi raji'un, isteri Rasul!". Aisyah pun terbangun, lalu dipersilahkan oleh Shafwan untuk mengendarai untanya. Syafwan berjalan menuntun unta sampai mereka tiba di Madinah.
Kejadian itu akhirnya menimbulkan desas-desus yang dimanfaatkan kaum munafik untuk menghancurkan nama baik isteri Rasulullah SAW. Dalam kejadian ini, Allah kemudian berfirman, "Sesungguhnya orang-orang yang membawa berita bohong itu adalah dari golongan kamu juga. Janganlah kamu kira bahwa berita bohong itu buruk bagi kamu, bahkan ia adalah baik bagi kamu. Tiap-tiap seseorang dari mereka mendapat balasan dari dosa yang dikerjakannya dan siapa di antara mereka yang mengambil bahagian yang terbesar dalam penyiaran berita bohong itu, baginya azab yang besar." (An-Nur ayat 11)
Rasulullah menghadapi semua itu dengan sabar dan lemah lembut, sementara orang-orang Muslim sudah tidak tahan dengan kejahatan orang-orang munafik, sebab mereka sudah tahu persis kelicikan mereka dari waktu ke waktu. Sebagaimana Allah berfirman, "Tidaklah mereka (orang-orang munafik) memperhatikan bahwa mereka diuji sekali atau dua kali setiap tahun. Namun, mereka tidak (juga) bertaubat dan tidak (pula) mengambil pelajaran." (At-Taubah ayat 126).