REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA--Hingga 2010 ini, entah sudah yang keberapa kali Indonesia memberangkatkan jamaah haji ke Tanah Suci. Sebab, menurut Dr M Shaleh Putuhena dalam Historiografi Haji Indonesia, sejak abad ke-16 M, sudah ada umat Islam Indonesia yang menunaikan ibadah haji.
Begitu juga pada abad-abad berikutnya, termasuk saat gejolak perang kemerdekaan. Saat itu, banyak umat Islam Indonesia yang pergi haji kendati melalui perjuangan yang sangat berat. Bahkan, ada di antara mereka yang menempuh perjalanan hingga bertahun-tahun. Saat bisa meninggalkan Indonesia, mereka singgah di Singapura atau Penang (Malaysia). Di tempat tersebut, umat Islam Indonesia yang ingin berhaji ini rela menjadi pekerja kasar. Ada yang menjadi tukang kebun, menggarap sawah, dan lainnya demi satu tujuan, yaitu berkunjung ke Baitullah.
Untuk itu, mereka terpaksa tinggal di sana selama bertahun-tahun untuk mengumpulkan biaya. Dalam bukunya Haji di Masa Kolonial, Dr M Dien A Majid menyebutkan, mereka baru bisa pulang ke Tanah Air setelah tiga sampai empat tahun kemudian. Itulah perjuangan yang tampaknya paling berat dialami umat Islam saat menunaikan ibadah haji.
Pada awal abad ke-18 M, sudah makin banyak umat Islam Indonesia yang menunaikan ibadah haji. Pada umumnya, mereka menggunakan kapal laut. Mereka berangkat dari berbagai pelabuhan di Tanah Air, seperti Sunda Kelapa, Onrus di Kepulauan Seribu (sekarang), Jepara, Makassar, dan Aceh. Pada awalnya, calon jamaah haji Indonesia berangkat menuju pelabuhan Aceh. Di kota yg disebut Serambi Makkah ini mereka menunggu kapal yang akan membawa mereka ke Hadramaut, Yaman, atau langsung ke Jeddah.
Perjalanan menggunakan kapal layar tidaklah mudah. Hingga pertengahan abad ke-19, tidak sampai separuh jamaah haji yang mampu berangkat hingga ke Makkah karena sudah meninggal dunia di perjalanan atau dijual sebagai budak.
Ketika kolonialisme Belanda mulai menancapkan kukunya di Indonesia, jumlah umat Islam yang berhaji semakin meningkat. Mereka menggunakan kapal laut. Kondisi ini dimanfaatkan oleh Pemerintah Hindia Belanda untuk menyediakan moda transportasi kapal laut. Perjalanan haji dengan menggunakan kapal laut ini bisa ditempuh hingga tiga sampai empat bulan.
Pada 1860-an, perjalanan haji sudah menggunakan kapal uap. Perubahan itu tidak lepas dari dibukanya Terusan Suez yang menghubungkan Laut Tengah dengan Laut Merah. Pembukaan itu menjadikan jumlah kapal uap dari Eropa ke nusantara yang singgah ke Jeddah semakin banyak.
Pada saat itu, calon haji nusantara biasanya menggunakan tiga maskapai kapal uap milik Belanda, yaitu Nederland, Rotterdamsche Lloyd, dan Blue Funnel Line. Namun, masalah kesejahteraan jamaah haji tidak diperhatikan oleh pemilik dan petugas kapal-kapal tersebut. Di dalam kapal, jamaah haji berdesak-desakkan, berjubel, dan tidak sedikit yang meninggal dunia. Mereka yang mati, jenazahnya langsung dibuang ke laut. Sebagai catatan, pada 1920-an, setiap seribu orang, ada dua hingga lima orang yang meninggal. Pada 1930-an, jumlahnya naik jadi sekitar sepuluh orang yang mati.
Pada zaman kemerdekaan, pengaturan penyelenggaraan haji dimaksudkan untuk memberi kemudahan dan perlindungan terhadap jamaah haji. Namun, dari waktu ke waktu, penyelenggaraan haji tersebut tetap tidak sepi dari persoalan. Persoalan itu pada umumnya disebabkan oleh ulah pihak-pihak yang ingin mengambil keuntungan pribadi atau kelompok, baik melalui penipuan, pemerasan, penyimpangan dari ketentuan yang berlaku maupun cara-cara lain yang merugikan jamaah.
Bahkan, perjalanan dengan kapal laut ini sempat dilarang oleh pemerintah Hindia-Belanda setelah menyaksikan banyak jamaah haji yang kembali ke Tanah Air, mereka memiliki semangat patriotisme yang tinggi dalam membela Tanah Air. Akibatnya, hal itu akan membuat khawatir pemerintahan Hindia-Belanda. Mereka pun kemudian melarangnya. Namun, hal itu tak menyurutkan niat umat Islam Indonesia untuk pergi ke Tanah Suci dan menunaikan ibadah haji.
Jamaah haji pertama yang diberangkatkan ke Tanah Suci oleh pemerintah Indonesia setelah proklamasi kemerdekaan, yakni pada 1949-1950 dengan menggunakan kapal laut itu berjumlah 9.892 jamaah. Pada 1978, barulah menggunakan pesawat terbang. Hingga saat ini, tercatat lebih dari lima juta umat Islam Indonesia sudah menunaikan ibadah haji, atau baru 0,5 persen dari seluruh total populasi.