Rabu 28 Jul 2010 03:36 WIB

Pemerintah Perlu Pertegas Aturan Khitan Perempuan

Rep: dia/ Red: Krisman Purwoko

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA--Pemerintah sudah seharusnya membuat aturan yang jelas mengenai pelaksanaan khitan bagi kaum perempuan. Pasalnya, fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Nomor 9A tahun 2008 tentang Hukum Pelarangan Khitan Perempuan dinilai sejumlah kalangan tidak jelas.

Kepala Lembaga Studi Kependudukan dan Gender Universitas YARSI Prof Dr H Jurnalis Uddin PAK menuturkan, fatwa yang dikeluarkan Komisi Fatwa MUI pada tanggal 7 Mei 2008 ini sangat membingungkan baik oleh awam maupun pemerintah yang berkewajiban mengatur pelaksanaan berbagai tindakan medik termasuk khitan perempuan.

Fatwa tersebut menetapkan hukum khitan perempuan sebagai: fitrah, syiar Islam dan makrumah.

''Semuanya itu tidak dikenal oleh masyarakat awam. Biasanya kita mengenal hukum tentang sesuatu masalah itu seperti wajib, sunnah, mubah, makruh atau haram,'' kata Prof Jurnalis di sela-sela peluncuran buku Khitan Perempuan: Dari Sudut Pandang Sosial, Budaya, Kesehatan dan Agama, di Jakarta, Selasa (27/7).

Kebingungan itulah, menurut Prof Jurnalis, yang mendorong pihaknya melakukan penelitian. Dari hasil penelitian yang dilakukan secara komprehensif dari berbagai aspek kehidupan, sambungnya, diharapkan bisa didapatkan landasan hukum yang kuat untuk menentukan apa sebenarnya hukum khitan bagi kaum perempuan.

Prof Jurnalis menambahkan, hasil penelitian yang dilakukan oleh Lembaga Studi Kependudukan dan Gender Universitas YARSI menyimpulkan bahwa khitan perempuan hukumnya adalah mubah. ''Namun jika hal tersebut mengancam kesehatan maka menjadi makruh, dan jika mengancam nyawa perempuan yang dikhitan maka hukumnya menjadi haram,'' papar Ketua YARSI ini.

Saat ini, ungkapnya, baru negara-negara Afrika saja yang mengeluarkan fatwa haram terhadap hukum khitan perempuan. Dari 28 negara di benua hitam ini, kata dia, baru 15 negara yang memberlakukan larangan terhadap pelaksanaan khitan bagi kaum perempuan.

Dalam kesempatan sama, Prof Dr H Nasaruddin Umar MA dari Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Departemen Agama menuturkan, persoalan seputar hukum khitan perempuan memang pernah menjadi agenda pembahasan dalam pertemuan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). ''Indonesia termasuk negara yang tidak ikut meratifikasi aturan mengenai pelarangan khitan terhadap perempuan,'' ujarnya.

Keputusan Indonesia untuk tidak meratifikasi aturan pelarangan khitan perempuan ini, menurut Prof Nasaruddin, sudah tepat, mengingat kondisi masyarakat Indonesia yang belum siap. ''Kalau kita ikut meratifikasi pastinya akan menjadi kontra produktif, karena kultur sebagian besar masyarakat kita masih menganggap tabu jika seorang perempuan tidak dikhitan,'' tukasnya.

Prof Jurnalis mengatakan, hasil penelitian yang telah dilakukan oleh pihaknya telah dirangkum dan disusun ke dalam sebuah buku berjudul Khitan Perempuan: Dari Sudut Pandang Sosial, Budaya, Kesehatan dan Agama. ''Buku ini kita harapkan bisa menjadi masukan bagi pemerintah dan MUI ke depannya dalam menetapkan hukum pelaksanaan khitan bagi perempuan,'' tandasnya.   

Pihaknya, ungkap Prof Jurnalis, sudah menyampaikan gagasan-gagasan dari hasil penelitian yang dilakukan lembaganya kepada MUI. ''Memang belum ada tanggapan resmi dari mereka. Tapi, bisa saja dalam satu atau dua tahun ke depan, khitan perempuan ini menjadi diharamkan di Indonesia, karena dalam beberapa kasus medis khitan perempuan ini menyebabkan terjadinya infeksi, pendarahan dan trauma psikologis,'' tambahnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement