REPUBLIKA.CO.ID, CALIFORNIA--Bila Allah berkehendak untuk menunjuki manusia yang akan diberi hidayah, tidak ada sesuatu pun yang bisa mencegahnya. Dan, hidayah itu, bisa datang kapan saja, di mana saja, dan kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya.
Dan, pada 1994, Allah SWT mulai memberikan jalan hidayah kepada Corey Habbas untuk lebih dekat dengan Islam. Di negara kelahirannya, Amerika Serikat (AS), Corey Habbas dikenal sebagai seorang penulis lepas. Karya tulisnya telah diterbitkan di berbagai jurnal cetak serta online maupun surat kabar dan majalah.
Atas hasil karyanya ini, Corey pernah diganjar sejumlah penghargaan bergengsi. Sebut saja di antaranya penghargaan untuk karya-karya puisinya dari Islamic Writers Alliance and Qalaam serta Andalusia Prize for Literatur pada 2006 lalu.
Corey lahir dan tumbuh di kawasan California. Di negara bagian AS ini, ia mulai mengenal dan belajar tentang seni sastra. Ia berhasil menamatkan pendidikannya hingga meraih gelar sarjana dalam bidang Sistem Informasi dari Universitas Redlands. Saat ini, Corey menetap di Minnesota bersama keluarganya. Dia juga terdaftar sebagai anggota Aliansi Penulis Islam.
Bagaimanakah Corey Habbas menemukan Islam? Apa saja yang dialaminya, dan bagaimana kiprahnya setelah memeluk agama yang dibawa Nabi Muhammad SAW tersebut? Berikut ini sekelumit catatan harian perempuan kelahiran tahun 1974 itu dalam menemukan Islam.
1994: Lima Rukun
Tahun ini saya merasa tidak tahu bagaimana harus melalui masa-masa sekolah. Keputusan untuk bekerja penuh waktu di toko obat PayLess membuatku bisa memenuhi kebutuhan hidup, membayar uang sekolah dan buku secara mandiri. Tapi, tidak demikian dengan persoalan waktu. Pada saat punya waktu luang, saya sudah terlalu lelah untuk belajar. Karena, energi saya sudah habis seharian untuk bekerja di toko dan mengayuh sepeda pulang dari toko pukul sembilan malam.
Pada waktu siang, saya menjadi asisten apoteker, yang siap menerima panggilan telepon masuk di apotek dan menyusun resep-resep obat di bagian registrasi. Apoteker yang bekerja dengan saya adalah seorang laki-laki yang baik. Usianya berkisar 50-an.
Selama bekerja bersama, kami tidak banyak bicara. Tapi, suatu hari ia bertanya apakah saya pernah mendengar tentang Islam. Dia memberi tahu saya bahwa dia adalah seorang Muslim.
Dia lantas bercerita tentang lima rukun Islam: syahadat, shalat, zakat, puasa, dan haji.
Sehari kemudian, ia bertanya apakah aku ingat dengan lima rukun yang pernah ia sampaikan. Dia amat terkejut dan senang ketika mengetahui saya dengan begitu mudah bisa mengingat dan mengulang kembali kelima rukun tersebut. Saya merasakan sesuatu yang beda hari itu. Saya merasa seperti seseorang yang benar-benar religius, padahal sebelumnya tidak demikian.
1996: Alquran Pertamaku
Saya pernah mendengar Alquran secara sepintas sebelumnya. Di El Camino, sebuah lembaga pendidikan, seorang mahasiswi Muslim menunjukkan padaku Alquran untuk pertama kalinya. Saya merasa terhormat bahwa dia merasa cukup nyaman untuk berbagi sesuatu yang sangat pribadi dan berharga dengan saya.
Demi kesopanan dan karena juga ingin menunjukkan minat yang sama terhadap nilai-nilai yang dianutnya, saya pun memberanikan diri untuk meminjam Alquran miliknya. Dia pun mengizinkannya. Saya kemudian bertanya tentang simbol-simbol yang menandai bacaan teks dalam Alquran.
Saya katakan kepadanya bahwa itu indah, tapi saya merasa seperti membeku, tidak tahu harus berbuat apa lagi. Anehnya, peristiwa itu menjadi memori yang paling penting dalam ingatan saya setelah lulus dari perguruan tinggi ini.
1997: Malam-malam di Andalusia
Aku tinggal sendirian. Hari-hariku dilalui dengan kuliah dan kerja. Tampaknya, tidak ada hal lain yang bisa aku lakukan untuk mengisi hidup, sampai kemudian aku memutuskan untuk melakukan perjalanan ke Spanyol. Bagiku ini mungkin adalah petualangan seorang gadis Amerika ke negeri asing yang ingin mencari arti hidup.
Ketika menyusuri jalan-jalan Kota Madrid, saya merasakan seperti berada di masa lalu. Saya bisa mencium bau air yang menetes dan mendengar gema kaki kuda di sepanjang jalan.
Ini adalah tempat di mana umat Islam pernah memerintah selama beberapa periode. Masa tersebut dikenal sebagai masa yang penuh dengan toleransi dalam kehidupan beragama maupun budaya. Sekarang kota ini masih menjadi tempat tinggal bagi orang-orang dari berbagai macam keyakinan. Saya tidak ingin memejamkan mata semenit pun karena saya merasa seolaholah akan melewatkan sesuatu.
Pada tengah malam, aku melewatkan waktu dengan berjalanjalan di kawasan El Calle Alcal.
Aku berjalan memasuki sebuah katedral kecil yang masih buka pada tengah malam dan duduk di bangku kayu berhiaskan ukiran. Usia kursi itu sudah berabadabad, namun tetap terlihat mengilap jika diterpa cahaya.
Sepasang suami-istri dengan rambut berwarna perak dan kulit keriput melangkah masuk.
Mereka berlutut seraya memanjatkan doa dengan penuh ketulusan. Aku hanya duduk saja di ruangan ini. Melihat keduanya, aku pun menangis. Iman bagaikan sebuah cahaya yang bersinar di bawah permukaan.
1999: Iman yang Membara
Mata besar berwarna merah kecokelatan milik sahabatku Susanna, selalu tampak bersinar ketika ia berbicara tentang Tuhan. Dia pintar dan saya dapat melihat bahwa keyakinan yang dipeluknya telah memberikan begitu banyak daya dorong menuju kesuksesan. Ayah Susanna selalu bertengkar dengan para jemaatnya. Hal ini pula yang membuat mengapa ayahnya selalu berganti-ganti keyakinan dari satu sekte ke sekte Kristen yang lain. Sementara Susanna dengan satu keyakinan yang tetap dipegangnya, membuatku bertanya-tanya apakah dia akan mencoba sesuatu yang lain?
2000: Buku yang tak Terduga
Akhir pekan ini, seperti kebanyakan akhir pekan yang sudah-sudah, saya mengunjungi toko buku. Sambil memegang secangkir kopi hitam di kedai kopi yang berada di dalam toko buku tersebut, saya mulai menelusuri judul-judul buku yang ingin saya beli. Saya merasa seolah-olah sedang mencari sesuatu, tapi saya tidak tahu apa yang seharusnya dicari.
Seperti biasanya, saya pergi ke bangku favorit saya di bagian teknologi dan membaca buku-buku referensi tentang bahasa-bahasa pemrograman web, karena saya seorang web programmer di sebuah perusahaan telekomunikasi besar. Di luar itu, saya adalah seorang seniman, yang sangat tertarik pada misteri kehidupan.
Bulan lalu saya membeli sebuah buku tentang Buddhisme dan berpikir untuk mengadopsi praktik spiritual yang ada di dalam buku tersebut. Tapi, ada beberapa aspek dalam ajaran tersebut yang tidak sesuai dengan saya. Ketika saya tengah mencari-cari buku yang lain, mata saya tertumbuk pada sebuah buku berjudul Vision of Islam.
Saya membelinya dan merahasiakan hal tersebut. Ketika membaca buku, tanpa saya sadari, saya melafalkan kalimat syahadat yang tertera di dalam salah satu halaman buku yang saya baca. Saya selalu percaya kepada para nabi Yahudi serta Kristen dan satu lagi nabi yang aku yakini, yakni Muhammad.
Saya belajar bahwa dalam Islam, Yahudi dan Kristen adalah saudarasaudara dalam iman. Semua manusia, apa pun latar belakang sukunya, agamanya, bahasanya, semuanya berasal dari jiwa yang satu. Saya lebih merasakan kedekatan dengan mereka, daripada ketika saya belum menjadi Muslim. Kita semua terhubung. Ini adalah pesan yang ingin disampaikan Allah kepada umat manusia.
2001: Mendaki Gunung
Masjid Saya sangat takut untuk pergi ke masjid. Tapi, saya harus melakukannya kalau ingin pengetahuan Islam saya meningkat. Saya tidak tahu apa yang harus saya pakai, tapi sepengetahuan saya, tangan dan kaki harus tertutup sepenuhnya. Yang tidak saya ketahui hanyalah bahwa saya harus mengenakan penutup kepala saat memasuki masjid.
Ketika sampai di masjid, saya bertemu dengan seorang wanita yang membawa saya ke sebuah ruangan. Saya resmi menjadi Muslim. Orang-orang dengan penuh kehangatan menyambut saya dan mengucapkan selamat atas masuknya saya ke dalam Islam.
Beberapa bulan kemudian, saat mulai merasa nyaman dengan identitas baru sebagai seorang Muslim, saya memutuskan untuk mencari pasangan hidup. Saya mem-posting iklan pribadi di sebuah situs perkawinan Islam. Saya selalu mendambakan bisa membangun sebuah keluarga. Tak lama berselang, iklan yang saya pasang mendapat respons. Dan, tiga bulan kemudian, saya memutuskan untuk menikah dengan seorang pemuda Muslim bernama Hanafi yang saya kenal melalui situs pertemanan tersebut.
2002: Jilbab Pertamaku
Dalam apartemen aku terbangun karena bunyi alarm radio. Hari ini adalah hari Senin dan aku harus segera berangkat kerja. Hari itu menjadi hari spesial bagiku dan aku sudah merencanakan ini dengan sangat hati-hati. Ya, aku akan mengenakan jilbab ke tempat kerjaku.
Aku sudah berjuang dengan diriku sendiri, ketakutanku, dan kelemahanku untuk waktu yang cukup lama. Aku tahu benar, hal itu akan menjadi perubahan terbesar dalam hidupku. Inilah jihadku. Jihad terbesar dalam hidupku untuk menahan emosi terhadap cemooh dari para rekan kerja yang melihat jilbabku.
Aku melihat di cermin, dan berkata; "Anda ingin melakukan ini sejak lama. Tak peduli bagaimana orang lain menilai Anda. Jadilah kuat! Jangan berpikir tentang rasa benci dan kejahatan yang bisa saja menimpa diri Anda. Anda tidak akan terintimidasi karena memeluk Islam. Ingat pengorbanan Sumayyah binti Khubbat. Takutlah hanya kepada Allah."
2003: Mimpi
Saya bermimpi dalam tidur saya di suatu malam. Dalam mimpi tersebut, saya selalu mengenakan jilbab. Mimpi ini membekas dalam diri saya. Sekarang, saya ti dak bisa membayangkan keluar rumah tanpa menutupi bagian kepala saya. Saya telah menemukan kenyamanan dalam hal privasi dan keamanan dalam balutan kain yang menutupi seluruh bagian tubuh saya.
2006: Di sini dan Sekarang
Setelah memeluk Islam, saya merasakan banyak hal berubah dalam hidup ini. Hidup yang saya jalani lebih terarah. Saya bisa menyelesaikan sarjana saya dalam bidang sistem informasi, menikah dengan seorang pria yang sangat luar biasa, dan memiliki tiga anak. Ketika saya memiliki waktu luang, saya bisa bekerja sebagai sukarelawan bagi komunitas lokal saya. Saya merasa dengan kekuatan dari Allah, saya dapat memindahkan segala kesulitan apa pun dan melaluinya