REPUBLIKA.CO.ID,PONTIANAK--Umat Islam sudah saatnya menyatukan langkah dengan mulai membangun ekonomi umat tanpa harus melihat perbedaan berbagai kelompok keagamaan dan aliran yang makin berkembang. "Bukan masanya lagi perbedaan dijadikan sebagai alasan perseteruan antara kita, sebaliknya justru perbedaan menjadi kekuatan positif bagi terciptanya sinergi," kata Kepala Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama Prof Dr HM Atho Mudzhar saat membuka Dialog "Pengembangan Wawasan Multikultural antar Pimpinan Pusat dan Daerah Intern Agama Islam" di Pontianak, Selasa.
Pada sambutan yang dibacakan Kepala Puslitbang Kehidupan Keagamaan Prof Abd Rahman Mas'ud itu, ia mengatakan, akhir-akhir ini semakin berkembang aliran atau faham keagamaan, baik yang dipandang sesuai maupun yang tak sesuai dengan pandangan arus utama. Hadir dalam dialog tersebut dari berbagai unsur ormas Islam, seperti dari Majelis Ekonomi PP Muhammadiyah, Lembaga Perekonomian PB Nahdlatul Ulama (NU), DPP Front Pembela Islam, Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII), DPP Dewan Masjid Indonesia, DPP Mathla'ul Anwar, DPP Persatuan Islam (Persis), DPP Persatuan Tarbiyah Islamiyah, dan DPP Persatuan Islam Tionghoa Indonesia.
Hadir pula anggota Komisi VIII DPR RI Rahman Amin, Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Sultan Syarif Kasim Riau Prof Dr Mujahiddin, Ketua MUI Bidang Ekonomi Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang juga Ketua Masyarakat Ekonomi Syariah (MES) Dr Aries Mufti serta sejumlah pejabat dan peneliti dari Puslitbang Kemenag.
"Kami ibaratkan potongan warna-warni yang bila dirajut akan membuat hidup kita lebih berwarna. Dengan sedikit rasa seni, warna-warna tersebut dapat dikombinasikan sedemikian rupa sehingga kelemahan warna yang satu akan tertutupi dengan kekuatan warna yang lain, sehingga ormas yang bermacam-macam itu akan menjadi suatu kekuatan yang sangat dahsyat," katanya.
Kekuatan itu, lanjut dia, dapat digunakan untuk melakukan kerja-kerja sosial dan keagamaan yang lebih besar dibanding sebelumnya dan akan bermanfaat dalam upaya pengentasan kemiskinan dan pemberdayaan ekonomi rakyat. Atho juga mengakui, etos wiraswasta umat Islam masih lemah dan tidak terbiasa hidup tertantang untuk memeras otak memutar aset ekonomi yang ada serta masih menganggap dunia enterpreneurship memiliki resiko kerugian yang perlu dihindari.
Menurut dia, sudah saatnya umat Islam mulai bekerja keras dalam pengembangan usaha mikro dan kecil (UMK) dengan memanfaatkan lembaga keuangan syariah. Menurut data Bank Indonesia, sampai akhir 2008 pembiayaan yang diberikan bank syariah dalam upaya mengembangkan UMK mencapai angka 27,13 persen, ujarnya. "Itu jumlah yang besar. Tapi seberapa besarkah dukungan lembaga keagamaan dan ormas Islam memperbesar aset bank syariah dan memanfaatkan pembiayaan bank syariah melalui skim-skim dan produk sesuai syariah?" katanya dalam nada ragu.