REPUBLIKA.CO.ID,KEDIRI--Ratusan santri dari 140 lembaga pondok pesantren yang tersebar di Pulau Jawa dan Pulau Madura membahas nikah siri dan poligami dalam tinjauan ilmu fikih di Ponpes Al Falah, Kabupaten Kediri, pada 19-20 Mei 2010. "Kegiatan 'bahtsul masail' ini setiap tahun rutin kami gelar. Hanya saja tahun ini fokus bahasan kami pada masalah nikah siri dan poligami dalam hukum Islam," kata Ketua Panitia Bahtsul Masail, Moh. Khifdi, di Ponpes Al Falah, Ploso, Mojo, Kabupaten Kediri, Jawa Timur, Rabu.
Untuk nikah siri, kata dia, para santri akan mencermati Rancangan Undang-Undang Perkawinan, terutama Pasal 142 Ayat (3) yang menyatakan calon suami yang berkewarganegaraan asing harus membayar uang jaminan kepada calon istri melalui Bank Syariah sebesar Rp500 juta.
Selain itu, Pasal 143 dalam juga menyebutkan setiap orang yang dengan sengaja melangsungkan perkawinan tidak di hadapan pejabat pencatat nikah dipidana dengan ancaman hukuman bervariasi, mulai dari enam bulan hingga tiga tahun, dengan denda mulai dari Rp6 juta hingga Rp12 juta. "Kami akan mempertanyakan sampai sejauh mana larangan nikah siri tersebut dapat terealisasi, dan korelasi peraturan itu dengan Undang-Undang Perlindungan Perempuan dan Anak," katanya.
Selain nikah siri dan poligami, para santri juga akan membahas beberapa isu terkini lainnya, di antaranya hukum mempekerjakan seorang waria di beberapa tempat usaha dengan mengacu hukum Islam. "Bahtsul masail" tersebut itu juga melibatkan para ustaz dan ulama fikih, masing-masing berperan sebagai perumus dan perekomendasi atas setiap keputusan yang dihasilkan.
Hingga 2010, PP Al Falah telah menyelenggarakan 12 kali "bahstul masail" dengan topik yang disesuaikan dengan dinamika masyarakat. Dalam ajang tersebut, acuan yang digunakan para santri adalah kitab-kitab fikih bermazhab Syafi'i, Hanafi, Maliki, dan Hambali.
Meskipun demikian, mazhab Syafi'i lebih dominan mendasari keputusan "bahtsul masail" sebagai ciri utama pondok pesantren beraliran Ahlussunnah wal Jama'ah di Jawa dan Madura.