Kamis 20 May 2010 03:03 WIB

Komisi Kebebasan Agama AS "Nyantri" di Ponpes Yogya

Rep: Yulianingsih/ Red: Siwi Tri Puji B
ilustrasi
Foto: .
ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA – Perwakilan Komisi Kebebasan Agama yang dibentuk Kongres Amerika Serikat (United State Commission fot International Religius Freedom/USCIRF) belajar keagamaan di Pondok Pesantren (Ponpes) Nurul Ummahat Kotagede Yogyakarta dalam rangkaian kunjungannya ke Yogyakarta, Selasa (18/5).

Perwakilan Komisi Kebebasan Agama AS tersebut antara lain, David Bettoni, Scott Flipse, dan Machael Cramartie. Mereka diterima oleh pimpinan Ponpes Nurul Ummahat Kotagede, Abdul Muhaimin dan pengurus Farum Persaudaraan Umat Beriman (FPUB) yang beranggotakan aktivis berbagai macam agama dan aliran kepercayaan di Yogyakarta.

Selain ke Ponpes Nurul Ummahat dan FPUB Yogyakarta, mereka juga akan berkunjung ke Kraton Yogyakarta dan berdialog dengan Sri Sultan HB X

Menurut Machael Cramartie, komisi tersebut merupakan bentukan Kongres AS terkait kebebasan beragama di dunia. “Kita ke Yogya untuk tahu kebebasan beragama di Indonesia dan mengetahui apa saja tantangannya,” paparnya dihadapan pengurus FPUB dan pimpinan Ponpes Nurul Ummahat. Mereka juga berkunjung ke beberapa daerah lain di Indonesia dan di dunia. Hasil kunjungan itupun kata dia, akan dilaporkan ke Kongres AS dan Presiden AS.

Dalam kesempatan mereka melakukan diskusi dengan pengurus FPUB, antara lain dengan Romo Yatno (Katholik), Wayan Sumerta (Hindu), Pendeta Paulus Lie (Kristen), dan beberapa pimpinan Islam, Budha, dan aliran kepercayaan di Yogyakarta. Anggota FPUB juga memutar beberapa video aktivitas mereka di Yogyakarta dan di beberapa daerah termasuk dialog antara agama, dan aktivitas keagamaan di Yogyakarta.

Pemimpin Ponpes Nurul Ummahat, Abdul Muhaimin dalam kesempatan itu mengatakan, pihaknya selalu mengobarkan semangat perdamaian agama melalui dialog dan melalui media baik itu online maupun media lainnya. “Untuk aktivitas dialog melalui media ini kita memang kesulitan dana. Daripada dana AS digunakan untuk  perang melawan terorisme, mending untuk pendanaan dialog seperti ini,” paparnya.

Kondisi ini sangat berbahaya. Apalagi kata dia, terbukti selama 10 tahun perang melawan terorisme telah terbukti gagal. Menurutnya justru dialog-dialog antar agama dan aliran kepercayaan lebih efektif untuk memerangi paham radikal tersebut.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement